BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an datang dengan membuka
lebar-lebar mata manusia, agar mereka menyadari jati diri dan hakikat
keberadaan mereka di muka bumi ini. Juga agar mereka tidak terlena dengan
kehidupan ini. Sehingga mereka tidak menduga bahwa hidup mereka dimulai dengan
kelahiran dan berakhir dengan kematian. Juga sebagai firman Allah yang menjadi
petunjuk mengenai apa yang dikehendakiNya. Jadi manusia yang ingin menyesuaikan
dengan apa yang dikehendakiNya itu, demi meraih kebahagiaan akhirat, harus
dapat memahami maksud petunjuk-petunjuk tersebut.
Demikiann Allah menjamin keontetikan
Al-Qur’an, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatauan Nya
serta berkat upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk Nya, terutama oleh manusia.
Menghafal Al-Qur’an adalah kemuliaan yang diberikan oleh Allah zat yang
menurunkan Al-Qur’an kepada hambanya yang terpilih. Karena dalam lafadz-lafadz
Al-Qur’an ayat-ayatnya terdapt keindahan, kenikmatan dan kemudahan. Oleh karena
itu, alangkah baiknya apabila manusia lebih banyak menggunakan Al-Qur’an.
Sementara pendapat tokoh (Islam dan
Barat ) hanya sebagai jalan untuk menjelaskan keterangan-keterangan Al-Qur’an
dan hadist tentang masalah – masalah.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan bukti kebenaran Al-Qur’an serta hikmahnya ?
2. Bagaimana
sejarah perkembangan tafsir serta kebebasan dan pembatasan dalam tafsir ?
3. Bagaimana
hubungan Hadist dan Al-Qur’an serta masalah di dalamnya ?
4. Apa
yang terkandung dalam gagasan Al-Qur’an tentang pembudayaan Nya ?
5. Bagaimana
peran Islam dalam diri manusia serta makna kehidupan dalam Al-Qur’an ?
6. Bagaimana
peran Islam dalam kemasyarakatan ?
7. Apa
makna tujuan puasa, halal bihalal, zakat, ibadah haji, isra’ mi’raj serta
hijrah menurut Al-Qur’an ?
8. Bagaimana
Islam dalam menghadapi keragaman Peran Ulama ?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui bukti kebenaran Al-Qur’an
2. Untuk
memahami sejarah perkembangan tafsir serta kebebasan dan pembatasan dalam
tafsir
3. Untuk
mengetahui hubungan Hadist dan Al-Qur’an serta masalah di dalamnya
4. Untuk
mengetahui isi dari kandungan gagasan Al-Qur’an tentang pembudayaan Nya
5. Untuk
mengetahui peran islam dalam diri manusia serta makna kehidupan dalam Al-Qur’an
6. Untuk
memahami peran islam dalam kemasyarakatan
7. Untuk
mengetahui tujuan puasa, halal bihalal, zakat, ibadah haji, isra’ mi’raj serta
hijrah menurut Al-Qur’an
8. Untuk
mengetahui Islam dalam menghadapi keragaman Peran Ulama
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
BUKTI
KEBENARAN AL-QUR’AN
1. KEONTETIKAN
AL QUR’AN
Al qur’an al karim memperkenalkan
dirinya dengan berbagai ciri dan sifatnya. Salah satunya adalah bahwa ia
merupakan kitab yang keontetiknnya dijamin oleh allah dan ia adalah kitab yang
selalu dipelihara. Beberapa faktor pendukung bagi pembuktian otensitas al
qur’an :
1.
Masyarakat arab yang
hidup pada masa turunya al qur’an adalah masyarakat yang tidak mengenal baca
tulis, satu satunya andalan mereka adalah hafalan. Dalam hal hafalan orang arab
sampai sampai saat ini dikenl dengan kuat.
2.
Masyarakat arab,
khususnya pada masa turunnya al qur’an dikenal sebagai maasyarakat sederhana
dan bersahaja.
3.
Al qur’an adalah
petunjuk kebahagiaan dunia akhirat.
4.
Ayat al qur’an turun
berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa yang mereka alami,
bahkan menjawab pertanyyan pertanyaan mereka.
5.
Dalam al qur’an ditemukan
petunjuk petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti
dan hati hati dalam menyampaikan berita.
Bukti kebenaran al qur’an
Al qur’an mempunyai sekian banyak
fungsi, diantaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, bukti
kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahab :
1. Menantang
siapapun yang meragukannya untuk menyusun semacam al qur’an secara keseluruhan
2. Menantang
mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam al qur’an , seluruh al qur’an berisikan
114 surah
3. Menantang
mereka untuk menyusun satu surah saja semacam al qur’an
4. Menantang
mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah
dari al qur’an.
Dalam hal ini al qur’an menegaskan,
katakanlah (Hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jalan berkumpul untuk
membuat yang serupa al qur’an, niscahya mereka tidak akan mampu membuat yang
serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang
lain (QS.17:88) walaupun al qur’an menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad tapi
fungsi utamanya adalah menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia. Petunjuk
yang dimaksud adalah petunjuk agama.
Ada tiga aspek dalam al qur’an yang
dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus menjadi bukti bahwa
seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikan adalah benar bersumber dari
Allah SWT.
Pertama, aspek keindahan dan ketelitian
redaksi-redaksiannya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi
kita yang tidak memahami dan memiliki rasa bahasa arab karena keindahan
diperoleh melalui perasaan bukan melalui nalar, namun demikian ada satu atau
dua hal menyangkut redaksi al qur’an yang dapat membantu pemahaman aspek ini
Kedua, adalah pemberitaan ghaibnya,
fir’aun yang mengejar ngejar nabi musa, diceritakan dalm surah Yunus, pada ayat
92 surah itu, ditegaskan bahwa “badan fir’aun tersebut akan diselamatkan tuhan
untuk menjadi pelajaran generasi berikut. Tidak seorang pun mengetahui hal
tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. nanti pada awal
abad ke 19, tepatnya pada tahun 1896 ahli purbakala loret menemukan dilembah
raja raja luxor mesir, satu yang bernama manipth dan yang pernah mengejar Nabi
Musa a.s .
Ketiga, isyarat isyarat ilmiahnya banyak
sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam al qur’an. Misalnya di isyaratkannya
bahwa cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan
adalah pantulan (dari cahaya matahari).
2. HIKMAH
AYAT ILMIAH AL QUR’AN
Ada sekian kebenaran ilmiah al qur’an,
tetapi tujuan pemapamaran ayat ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran
tuhan dan ke Esaanya, serta mendorong manusia seluruhnya unruk mengadakan
observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaankepada Nya.
Mahmud Syaltut mengatakan dalam tafsirannya : ‘ sesungguhnya tuhan tidak
menurunkan al qur’an untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia
mengenai teori teori ilmiah, problem problem seni serta aneka warna
pengetahuan. Al qur’an tidak menerangkan hakikat ruh karena tujuan pokok al
qur’an bukan menerangkan persoalan persoalan ilmiah, tetapi tujuannya adalah
memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidupnya didunia dan
akhirat kelak. Syeikh Mahmud Syaltut setelah membawakan kedua ayat tersebut,
lalu menulis : tidakkah terdapat dalam hal ini (kedua ayat tersebut) bukti
nyata yang menerangkan bahwa al qur’an bukan satu kitab yang dikehendaki Allah
untuk menerangkan (kebenaran kebenaran ilmiah dalam alam semesta) tetapi ia
adalah kitab petunjuk islah dan tasyri
AL-Zamakhsyari berpendapat bahwa
mempelajari tafsir al qur’an merupakan ‘fardhu ayn’ setiap muslim wajib
mempelajari dan memahami al qur’an, tetapi ini bukan berarti bahwa ia harus
memahaminya sesuai dengan pemahaman orang orang dahulu kala, karena seorang
muslim diperintahkan oleh al qur’an untuk mempergunakan akal pikirannya serta
mencemoohkan mereka yang hanya mengikuti orang orang tua dan nenek moyang tanpa
memperhatikan apa yang sebenarnya mereka lakukan adakah mereka ala hudan(dalam
kebenaran)atau ala dhalal(dalam kesesatan). Setiap muslim wajib memahami al
qur’an karena ayat ayatnya tidak diturunkan hanya khusus untuk orang orang arab
di zama Rasullullah ini. Tetapi al qur’an adalah untuk semua manusia sejak dari
zaman turunnya hingga akhir kiamat.
B.
SEJARAH
PERKEMBANGAN TAFSIR
Pada saat Al-Quran di turunkan, Rasul
saw yang berfungsi sebagai mubayyin (
pemberi penjelasan ), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan
kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami artinya.
Dari penafsiran Rasul saw, penafsiran sahabat-sahabat serta penafsiran tabi’in,
dikelompokkan menjadi satu kelompok yagn dinamai Tafsir bi Al-Ma’tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama
dari perkembangan tafsir.
Corak-corak
penafsiran yang dikenal antara lain :
a. Corak
sastra bahasa
b. Corak
filsafat dan teologi
c. Corak
penafsiran ilmiah
d. Corak
tasawuf
e. Corak
sastra budaya kemasyarakatan
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud
Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir
Al-Quran Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh
Al-Syathibi. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas
surat demi surat, atau bagian tertentu dari surat. Kemudian merangkaianya
dengan tema sentral yang terdapat dalam surat tersebut. Metode ini bernama metode mawdhu’iy.
Dengan
demikian, metode mawdhu’iy mempunyai
dua pengertian :
1. Menafsirkan
menyangkut satu surat dalam Al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan secara umum dan
tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan yang beraneka ragam dalam surat
tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan
2. Penafsiran
yang bermula dari menghimpun ayat – ayat Al-Qur’an yang membahas satu masalah
tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Qur’an dan yang sedapat mungkin
diurut sesuai dengan urutanya. Kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari
ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang
dibahas itu.
1. KEBEBASAN
DAN PEMBATASAN DALAM TAFSIR
Al-Qur’an merupakan bukti kebeanaran
Nabi Muhammad saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun.
Memiliki berbagai macam keistimewaan. Antara lain : susunan bahasanya yang unik
memesonakan, dan pada saat yang sama mengandung makna – makna yang dapat
dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat
pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Dari sini kemudian
para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah penjelasan tentang arti atau
maksud firmah-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an terdapat
kebebasan kepada manusianya, bila didasari bahwa hasil pemikiran seseorang
dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasanya, tetapi juga oleh disiplin
ilmu oleh pengalaman, penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik dan
sebagainya. Tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda dan tidak dapat
dihalangi untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Qur’an. Walaupun
berbeda pendapat, harus ditampung karena ini sudah konsekuensi logis selama
penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.
Dari segi syarat penafsir, khusus bagi
penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum
dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut : (a) pengetahuan tentang bahasa
Arab dalam berbagai bidangnya ; (b) pengetahuan tentang ilmu – ilmu Al-Qur’an, sejarah
turunanya, hadis-hadis Nabi, dan ushul
fiqh ; (c) pengetahuan tentang prinsip pokok keagamaan ; dan (d)
pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Dalam hal
ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi, yaitu :
1. Menafsirkan
berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat
Al-Qur’an. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti
terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir. Selama yang dikemukakanya
berdasarkan pemahaman paraahli tafsir.
2. Faktor
yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain :
a. Kekeliruan
dalam menerapkan metode atau kaidah
b. Kedangkalan
dalam ilmu-ilmu alat
c. Kedangkalan
pengetahuan tentang materi uraian
d. Tidak
memperhatikan konteks, baik hubungan antar ayat maupun kondisi sosial
masyarakat
e. Tidak
memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan
Disamping apa yang telah dikemukakan
diatas, masih ditemukan pula beberapa pembatasan menyangkut perincian
penafsiran, khususnya dalam tiga bidang, yaitu :
1. Perubahan
Sosial
2. Perkembangan
ilmu pengetahuan
3. Bidang
bahasa
2. TAFSIR
DAN MODERNISASI
Al-Qur’an turun sebagai Kitab pedoman
umat Islam agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang. Dari
salah satu ayat yang menyatakan bahwa masyarakat terus-menerus berubah dan
berkembang menyimpulkan bahwa Al-Qur’an menganjurkan pembaharuan yang disebut
Tajdid.
Dari beberapa simpulan mengenai arti
Tajdid, didapatkan rumusan bahwa Tajdid yaitu menyeberluaskan dan menghidupkan
kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf
al-awwal. Sebaliknya, ada pula yang memahami tajdid sebagai usaha untuk
menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan
mentafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial
masyarakat.
Pandangan
tentang Modernisasi Tafsir
1. Hadis-hadis
dan pendapat-pendapat sahabat
Penafsiran
yang paling ideal adalah tafsir bi al-ma’tsur, yakni berlandaskan ayat, hadis,
dan pendapat sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an. Penafsiran ini dapat dibagi
dalam dua kategori : masalah metafisika, perincian ibadah dan masalah kemasyarakatan.
Yang
pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, diterima sebagai pengembangan karena
sifatnya berada pada luar jangkauan akal. Yang kedua, walaupun penafsiran Nabi
saw benar adanya, namun penafsiran tersebut harus ditempatkan pada porsinya
yang tepat.
2. Perkembangan
antara yang Qath’iy dan yang Zhanniy
Dari perbedaan kedua diatas, timbul ide
pembedaan antara Syari’at dan fiqih. Syari’at adalah sesuatu yang ditetapkan
berdasarkan nash-nash qath’iy baik dari
segi keaslian sumbernya maupun pengertianya. Sedangkan fiqih adalah penafsiran
terhadap nash-nash.
3. Penggunaan
Ta’wil dan Metafora
Pada
masa al-salaf al-awwal, ulama-ulama enggan menggunakan ta’wil atau memberi arti
metaforis bagi teks-teks keagamaan. Setelah masa al-salaf al-awwal, keadaan
telah berubah. Hampir seluruh ulama telah mengakui perlunya ta’wil dalam
berbagai bentuk nya. Al-Sayuti misalnya, menilai majaz sebagai bentuk keindahan
bahasa. Namun walaupun mereka sepakat menerimanya, perbedaan pendapat timbul
dalam menetapkan syarat-syarat bagi penggunanya.
Al-Syathibi
mengemukakan dua syarat pokok bagi setiap pen-ta’wil-an :
a. Makna
yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang
memiliki otoritas dalam bidangnya.
b. Makna
yang dipilih telah dikenal oleh bahasa arab klasik.
Sementara pembaru dinilai sangat
memperluas penggunaan ta’wil tanpa suatu alasan yang mendukungnya.
C.
ILMU
TAFSIR DAN PROBLEMATIKNYA
1. HUBUNGAN
HADIST DENGAN AL-QUR’AN
Hadist adalah segala sesuatu yang
dinisbahkan kepada Muhammad S.A.W yang berisi tentang "Segala sesuatu yang
dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan),
maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun
sesudahnya.". Sedangkan Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad S.A.W untuk penyempurna dari kitab- kitab yang sudah ada sebelumnya
dan sebagai pentunjuk yang akan digunakan secara terus menerus untuk umat.
Tetapi
harus diakui bahwa ada segi perbedaan penyampaiaan atau penerimaan antara
Al-Qur’an dan Hadist. Dari segi redaksi Al-Qur’an langsung disusun oleh Allah
kemudian Malaikat Jibril hanya sebagai menyampaikan kepada Nabi Muhammad S.A.W
dan cara penyampaiaannya tidak akan pernah keliru karena Nabi menghafalkannya
dan menyampaikannya secara tawatur. Hal ini berbeda dengan Hadist yang pada
umumnya disampaikan dari satu orang ke orang lain.
2. FUNGSI
HADIST DALAM AL-QUR’AN
sebagai penjelas dari firman –
firman Allah. Tetapi banyak sekali muncul pertanyaan apakah hadist dan sunnah
dapat menetapkan hukum baru yang belum ada sebelumnya di dalam Al-Qur’an?
Banyak sekali pendapat bermunculan dari pertanyaan tersebut. Tapi ada beberapa
pendapat, menurut Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa
alhadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama
terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan
penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya
ijma' ulama menyangkut kandungannya. Akan tetapi menurut Imam Syafi’i
Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik
dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran.
Bila masih juga ditemukan
pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima
secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).
3. PEMAKNAAN
ATAS HADIST
hadis, dalam arti ucapan-ucapan
yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan
riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis
sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw., menurut Imam Abu Hanifah lain
pula pendapatnya sependapat dengan ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa
teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang
muamalat, tidak demikian.
Bidang ini menurutnya adalah ma'qul
alma'na, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat
Al-Quran yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat
ta'abbudiy juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja
karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi
juga karena teks tersebut diterima atas dasar qath'iy al-wurud.
4. FUNGSI
POSISI SUNNAH DALAM TAFSIR
bahwa di satu pihak, kekeliruan
pemahaman tentang kedudukan, fungsi dan sejarah perkembangan hadis timbul
akibat dangkalnya pengetahuan (agama). Dan di pihak lain, ia terjadi akibat
pendangkalan agama yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam (khususnya para
orientalis yang tidak bertanggung jawab) yang mengatasnamakan penelitian ilmiah
untuk tujuan-tujuan tertentu.
5. AYAT
KAWNIYYAH DALAM AL-QUR’AN
Ayat
kawniyyah sendiri adalah penguraian tentang berbagai persoalan hidup dan
kehidupan yang menyangkut alam raya dan fenomenannya. Tetapi bukan berarti
Al_qur’an sama dengan kitab ilmu pengetahuan atau pengurai kitab ilmiah. Dan
bukan berarti al-Qur’an sebagai yang mengandung segala sesuatu, tetapi
Al-Qur’an adalah sebagai pokok petunjuk yang menyangkut segala sesuatu yang ada
dikehidupan baik dunia maupun akhirat. Jadi ayat kawniyyah dalam al-qur’an
sebagai pengurai pentunjuk persoalan hidup baik di dunia maupun diakhirat.
Al-Qur’an
memerintahkan manusia untuk mengetahui
dan memanfaatkan hukum yang mengatur alam raya, dan alam tidak dapat dilepaskan
dari ketetapan yang Allah buat, kecuali atas kehendak dari Allah SWT. Dan
sebagai manusia pengetahuan dan pemanfaatan alam raya bukanlah sebuah tujuan
puncak melainkan agar kita mengenal dan mengetahui siapa pemilik alam raya ini.
Atas
dilarangnya penafsiran secar spekulatif maka tidsk dibenarkan penafsiran
alquran berdasar pada penemuan ilmiah. Banyak perbedaan pendapat tentang hal
ini, tapi yang pasti setiap manusia memiliki kewajiban mempercayai segala
sesuatu yang mengatas namakan al-qur’an sebgai pembenarannya maka itu bukanlah
hal yang baik karena hal tersebut belum tentu kebenarannya.
Segi
bahasa al-qur’an dan kolerasi antar ayatnya,yaitu bila kita ingin memahami
al-qur’an maka jangan hanya satu ayatnya tapi pahami ayat sebelum dan
sesudahnya karena semua itu selalu berkaitan, memang banyak kekeliruan dalam
penafsiran al - qur’an karena kelemahan dalam bidang bahasa dan kedangkalan
penegtahuan terhadap objek bahasan ayat.
D.
GAGASAN
AL-QUR’AN TENTANG PRMBUDAYAAN-NYA
1. FALSAFAH
DASAR IQRA
Iqra’ atau perintah membaca adalah kata
pertama dari wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Sangat penting sehingga
diulang dua kali dalam rangkaian wahyu pertama. Perintah tersebut tidak
semata-mata ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, namun ditujukan pula kepada
umat manusia sepanjang sejarah, karena realisasi perintah tersebut merupakan
kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Perintah membaca,
menelaah, meneliti, menghimpun dan sebagainya.
2. KONSEP
PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN
Petunjuk Al-Qur’an bertujuan untuk memberi
kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia baik secara pribadi maupun secara
kelompok. Rasulullah saw bertindak sebagai penerima Al-Quran bertugas untuk
menyampaikan, menyucikan, dan mengajarkan kepada manusia. Tujuan yang ingin
dicapai dengan pembacaan, penyucian dan pengajaran tersebut adalah pengabdian
kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia.
Pada hakikatnya manusia diciptakan di
muka bumi ini sebagai khalifah. Kekhalifahan mengharuskan empat sisi yang
paling berkaitan, yaitu pemberi tugas, penerima tugas, tempat atau lingkungan
dan materi penugasan yang harus dilaksanakan. Kalau uraian tersebut dikaitkan
dengan pembangunan nasional yang bertujuan “membangun manusia Indonesia
seutuhnya” maka jelaslah apa yang ingin dicapai, yakni terbentuknya manusia
yang :
a. Tinggi
takwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Cerdas
dan terampil
c. Berbudi
pekerti luhur dan berkepribadian, dan
d. Memiliki
semangat kebangsaan
Al-Quran Al-Karim dalam mengarahkan
pendidikannya kepada manusia dengan memandang, menghadapi, dan memperlakukan
makhluk tersebut sejalan dengan unsur penciptaannya yaitu jasmani, akal dan
jiwa.
Al-Quran menekankan kepada umatnya untuk
menuntut ilmu sepanjang hayat. Nabi Muhammad saw sekalipun yang telah mencapai
puncak segala puncak masih diperintahkan untuk selalu memohon (berdoa) sambil
berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah kebenaran
dan rugilah orang yang tidak mengajarkan kebenaran yang diketahuinya.
3. MENGAJARKAN
TAFSIR DI PERGURUAN TINGGI
Dalam sebuah pengajaran di perguruan
tinggi, ketika dosen menekankan pengajaran mengenai kaidah-kaidah tafsir,
diharapkan mampu memahami ayat-ayat yang tidak dijelaskan itu berdasarkan
kaidah-kaidah yang dipelajarinya. Dan dibutuhkan ketelitian karena sebagian
materi disajikan sangat ketinggalan zaman.
Penyampaian bahan pelajaran kepada
peserta didik dalam perguruan tinggi meliputi metode mengajar, alat bantu
mengajar, dan penilaian. Memilih metode pengajaran tafsir di perguruan tinggi
berkaitan erat dengan banyak hal, antara lain problem-problem yang dihadapi,
kondisi objektif perguruan tinggi, dosen, mahasiswa, perpustakaan serta tujuan
pengajaran yang ingin dicapai. Saat ini dibutuhkan komunikasi aktif dari tiga
arah yakni antar sesama dosen, antar dosen dan mahasiswa, dan antara mahasiswa
dengan sesama mahasiswa..
4. PENGAJARAN
AKIDAH DAN SYARI’AH DI SEKOLAH
Dalam bidang akidah, para ahli keislaman
menemukan banyak materi-materi akidah (teologi) tidak sepenuhnya relevan dengan
kondisi masa kini. Materi-materi tersebut diambil oleh generasi ke generasi.
Sehingga terdapat perbedaan antara materi akidah saat pertama kali dengan
sekarang ini.
Dalam bidang syari’ah terdapat beberapa
materi seperti bersuci, aurat, shalat, dan zakat harus disajikan kepada anak
didik sedini mungkin. Dan penyajian metode harus sesuai dengan jangkauan
pikiran mereka.
5. SOAL
PENILAIAN DALAM MTQ
Cabang musabaqah tafsir Al-Quran
mencakup dua aspek yaitu aspek tafsir dan aspek hifzh Al-Quran. Dalam pedoman
musabaqah Al-Quran dijelaskan bahwa tujuan Musabaqah Tafsir Al-Quran adalah :
a. Menggairahkan
dan menggalakkan generasi muda Islam untuk menghapal dan menafsirkan Kitab Suci
Al-Quran.
b. Mencetak
kader-kader ulama hafizh Al-Quran yang ahli dalam tafsir Al-Quran.
c. Mencari
calon-calon hafizh dan mufassir terbaik untuk dikirim ke Musabaqah Al-Quran
Al-Karim Internasional di Makkah Al-Mukkaramah
Penilaian aspek hifzh antara lain:
tahfizh, tajwid dan fashahah dan adab
6. METODE
DAKWAH AL-QUR’AN
Al-Quran Al-Karin adalah suatu kitab
dakwah yang mencakup sekian banyak permasalahan atau unsur dakwah seperti da’i,
mad’uw, da’wah, metode dakwah dan cara-cara penyampaiannya. Materi dakwah yang
dikemukakan oleh Al-Quran berkisar pada tiga masalah pokok : akidah, akhlak dan
hukum. Sedangkan metode dakwah untuk mencapai ketiga sasaran tersebut secara
umum dapat terlihat pada :
a. Pengarahan-pengarahannya
untuk memperhatikan alam raya
b. Peristiwa-peristiwa
masa lalu yang dikisahkannya
c. Pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan atau semacamnya yang dapat menggugah hati nurani manusia untuk
menyadari diri dan lingkungannya
d. Janji-janji
dan ancaman-ancaman duniawi dan ukhrawi.
Pada tahun-tahun terakhir ini, dunia
Islam yang pada umumnya adalah negara berkembang yang sedang membangun dan
meninjau kembali prioritas tersebut. Kini, materi-materi ajaran agama cenderung
dikaitkan dengan kehidupan kemasyarakatan. Pada pokoknya, materi-materi
tersebut tercermin dalam tiga hal :
a. Bagaimana
ide-ide agama dipaparkan sehingga dapat mengembangkan gairah generasi muda
untuk mengetahui hakikat-hakikatnya melalui partisipasi positif mereka
b. Sumbangan
agama ditujukan kepada masyarakat luas yang sedang membangun, khususnya di
bidang sosial, ekonomi dan budaya
c. Studi
tentang dasar-dasar pokok berbagai agama yang dapat menjadi landasan bersama
demi mewujudkan kerja sama antar pemeluk agama tanpa mengabaikan identitas
masing-masing.
7. KOMPUTERISASI
AL-QUR’AN
Salah satu melaksanakan perintah Tuhan
menyangkut penyebarluasan Al-Quran adalah pemanfaatan alat canggih komputer.
Dalam usaha tersebut di atas, terlebih dahulu digarisbawahi bahwa komputer
hanyalah alat. Ia tidak dapat berfungsi tanpa manusia. Hemat kami usaha
komputerisasi Al-Quran seharusnya memberi informasi sebanyak mungkin tiga hal
pokok : (a) petunjuk atau hidayah Al-Quran; (b) mukjizat Al-Quran dan (c)
perangkat pendukung untuk kedua hal diatas yang merupakan tujuan dan turunnya
Al-Quran.
E.
AGAMAN
DAN PROBLEMATIKNYA
1. PERLUNYA BERAGAMA
Agama
adalah salah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan menjelaskan maksudnya
(khususnya bagi orang awam), tetapi akan dirasa sangat sulit untuk mendefinisikannya dari segi keilmuaan.
Pengertian agama ini melalui pendapat
yang diajukan Syaikh Muhammad Abdullah Badran, bahwa agama adalah hubungan antara makhluk dan Khaliq-nya. Sementara itu, menurut pakar Islam
bahwa benih agama muncul karena manusia menemukan kebenaran, keindahan, dan
kebaikan. Ketika Nabi Adam diturunkan dari surga, ia melakukan perjalanan di
muka bumi ini kemudian ia menemukan ketiga hal di atas. Sebagai ilustrasinya,
diduga bahwa Adam menemukan keindahan ketika ia melihat
indahnya bintang-bintang di langit, kembang bermekaran, dan sebagainya. Ketika
ia merasa gerah kepanasan, angin menerpa tubuhnya yang menyegarkan tubuhnya, di
sana ia menemukan kebaikan. Kemudian, kebenaran ditemukan
di dalam alam raya ciptaan Tuhan serta apa yang ada dalam dirinya.
Gabungan ketiganya mendatangkan kesucian,
karena naluri manusia yang selalu mempunyai rasa ingin tahu, maka ia berusaha
mencari kebenaran, keindahan, dan kebaikan tertinggi. Jiwa dan akalnya membawa kepada yang Mahasuci dan
berusaha untuk berhubungan dengan-Nya, bahkan berusaha untuk mencontoh
sifat-sifat-Nya. Dari sinilah agama lahir, bahkan dari sini pula dilukiskan
proses beragama sebagai ”upaya untuk mencontoh sifat-sifat yang Mahasuci”.
2. UNIVERSALISME ISLAM
Islam
berlaku bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia yang selanjutnya disebut
sebagai Islam bersifat universal, namun ada pula yang bersifat khusus yang
diterima oleh umat Islam sebagai aqidah atau kepercayaan dasar.
sifat
dan ciri-ciri ajaran Islam adalah sebagai berikut: (1) Rabbaniyah; (2) Al-Syumu (keumuman);
(3) Al-Waqi’iyyah (atas dasar obyektivitas kenyataan yang dimiliki manusia).
Sifat universalisme Islam dititik beratkan
pada sifat Al-Waqi’iyyah, bahwa pada dasarnya manusia memiliki
sifat naluriah seperti yang Al-Quran kukuhkan atau berdasarkan pemahaman kami
bahwa fitrahnya manusia itu Islam. Waqi’iyyah tercermin pada
prinsip pemberlakuan ketentuan-ketentuan yang dirasa membawa gangguan terhadap
fitrah dibolehkan untuk tidak dipenuhi oleh manusia. Namun, hal tersebut
bukan berarti petunjuk-petunjuk yang diberikan ada yang bertolak belakang
dengan fitrah manusia. Prinsip yang bersifat universal ini dikenal dengan
nama al-qaw’id al-hakimah atau kaidah-kaidah hukum yang
memberi keringanan dalam keadaan tertentu (kondisional).
3. AGAMA : ANTARA ABSOLUTISME DAN RELATIVISME
Pada
umumnya manusia selalu merasa bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling
benar, sehingga persolan kafir-mengkafirkan menjadi paradigma yang tak kunjung
terselesaikan. Seperti yang kita pahami bahwa pada dasarnya manusia memang
tercipta beragam, baik dari jenis, suku, bangsa maupun agama.
permasalahan
tersebut hendaknya dapat dipahami sebagai sunatullah, sehingga kerukunan
antar umat beragama dapat tercapai dengan mudah. Bukan seperti yang telah
dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimasi yang mengklaim bahwa agamanya
adalah agama yang paling benar dan berusaha untuk memaksakan pendapatnya kepada
orang lain.
Dari sifat Nabi saw,
kita dapat mengambil sebuah hikmah yang sangat berharga. Nabi saja yang sebagai
pembawa risalah-Nya, memberi contoh mengenai hal kerukunan
antar umat beragama, mengapa kita yang mengaku berkeinginan mencontoh
ketauladanan Nabi tak dapat hidup rukun antar umat beragama? Bukankah terlalu
ganjil jika kita melihat apa yang ada dibenak manusia apabila tak mengakui hal tersebut.
4. KEHIDUPAN MENURUT AL-QUR’AN
Ilmu
pengetahuan dan teknologi belum dapat menjamin kebahagiaan manusia selama
nilai-nilainya tidak tunduk di bawah nilai-nilai spiritual. ada tiga factor
yang menjadikan pengetahuan kita tentang hakikat manusia sangat terbatas.
Pertama, pembahasan tentang manusia terlambat diadakan. Karena pada mulanya
perhatian manusia hanya pada penyelidikan tentang alam materi.. Kedua, ciri
khas akal manusia yang lebih cenderung untuk memikirkan hal-hal yang tidak
kompleks. Ini disebabkan
karena sifat akal kita itu sendiri yang tidak mampu mengetahui hakikat hidup. Ketiga,
multikompleksnya masalah manusia, seperti telah dikemukakan diatas. Manusia
pada hakikatnya diciptakan di dunia sebagai khalifah.
5. KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN
Dalam
surat Al-Zumar ayat 42, Tuhan berfirman: Allah memegang jiwa(orang) ketika
matinya dan memegang jiwa(orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlah jiwa(orang) yang
telah Dia tetapkan kematiannya, dan Dia lepaskankembali jiwa yang lain(yang
tidur), sampai waktu yang ditentukannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir (QS 39:42)
F.
ISLAM
DAN KEMASYARAKATAN
1.
ISLAM
DAN CITA-CITA SOSIAL
Sebelum
adam dan hawa terjun ke dunia belia terlebih dahulu ke surga dan kemudian
beliau menggambarkan bagaimana kehidupan di disurga yang nantinya akan terjadi
di bumi. Kemudian adam dan istrinya berusaha dengan sungguh-sungguh agar dapat
mewujudkan bayang-bayang disurga itu di bumi dengan petunjuk-petunjuk ilahi.
Terlihat bahwa
peran sentral dari adam dalam kehidupan dunia ini adalah menciptakan ketenangan
batin dan kesejahteraan lahir. Untuk mewujudkan peran sentral tersebut
diperlukan peran aktif dari semua pihak. Kegiatan tersebut disesuaikan dengan
kondisi dan sasaran yang dihadapi.
Cita-cita sosial
tersebut dimulai dengan menumbuhkan aspek kaidah dan etika dalam diri
pemeluknya. Dimulai dari pendidikan bagi pribadi masing-masing. Tiap-tiap
pribadi bertanggung jawab untuk mensucikan diri dan hartanya, kemudian
keluarga, setelah keluarga beralih ke kewajiban kepada masyarakat. Setiap orang
dituntut untuk melaksanakan tugasnya dengan bersungguh-sungguh. Kemudian
masyarakat memiliki kewajiban untuk membantu seluruh anggota masyarakat.
2.
ISLAM
DAN PERUBAHAN MASYARAKAT
Menurut nabi Muhammad islam lahir bersama dengan
turunnya al-quran. Masyarakat jahiliyah berpola pikir, sikap, dan tingkah laku
yang terpuji dan tercela. Hal ini, membuat islam menerima dan mengembangkan
yang terpuji dan menolak yang tercela.
-
Syarat
pokok perubahan
Perubahan
dapat terlaksana karena pemahaman nilai-nilai al-quran. Al-quran adalah kitab
pertama yang dikenal oleh manusia yang berbicara mengenai hukum sejarah dalam
masyarakat.
-
Peran
manusia
Manusia
merupakan orang yang menciptakan sejarah. Gerak sejarah merupakan gerak menuju
suatu tujuan. Tujuan tersebut dinamakan dengan masa depan. Perubahan yang terjadi pada diri manusia
harus diwujudkan dalam suatu landasan yang kokoh serta berkaitan erat dengan
perubahan yang terjadi pada dirinya.
-
Nilai-nilai
islam
Semakin
luhur dan tinggi suatu nilai semakin tinggi pula yang dicapai. Nilai tersebut
terbentuk oleh pandangan kedisinian dan kekinian. Kedisinian dan kekinian menghasilkan
sebuah kemandekan. Keesaan tuhan memancarkan kesatuan-kesatuan seperti kesatuan
alam semesta dalam penciptaan, eksistensi dan tujuan, kesatuan kehidupan dunia
dan akhirat. Al-Quran dapat mengubah mereka melalui sebuh prinsip tauhid. Langkah
yang digunakan untuk mengubah suatu pola pikir, sikap dan tingkah laku yaitu
dengan meluruskan pemahaman nilai serta menyebarluaskan sehingga dapat dipahami
oleh umat.
3.
KELUARGA
TIANG NEGARA
adalah jiwa
masyarakat dan tulang punggungnya. Sebuah keluarga yang diibarkat sebagai
sebuah bangunan, untuk memelihara sebuah bangunan tersebut harus didirikan dari
sebuah pondasi yang sangat kuat dan bahan bangunan yang kokoh. Fondasi tersebut
berupa sebuah ajaran agama selain itu juga dapat berupa kesiapan dari calon
orang tua. Dan kokohnya bahan tersebut dimaksudkan dengan perhatian dengan anak
sejak masih dalam kandungan sampai dewasa.
4.
RIBA
MENURUT AL-QUR’AN
Riba pada saat
turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut dari jumlah hutang yang
mengandung unsur penganiayaan dan penindasan. Bukan hanya penambahan jumlah
hutang.
5.
KEDUDUKAN
PEREMPUAN DALAM ISLAM
Kedudukan
perempuan dalam islam tidak seperti yang ada di masyarakat. Pada hakikatnya
islam memberikan perhatian dan kedudukan yang sangat terhormat kepada
perempuan. Banyak faktor yang mengaburkan keistimewaan tersebut diantaranya
karena kurangnya pemahaman islam tentang al-quran.
Hak-hak
perempuan yakni : hak dalam bidang politik, hak dalam memelihara pekerjaan, hak
dan kewajiban belajar.
6.
KUALITAS
PRIBADI MUSLIMAH
Semua manusia diciptakan dari debu tanah
dan ruh . apabila daya tarik debu tanah mengalahkan daya tarik ruh, ia akan
jatuh tersungkur sampai mencapai tingkat yang serendah-rendahnya bahkan lebih
rendah dari binatang. Namun, apabila ruh yang memenangkannya, manusia akan
menjadi seperti malaikat. Debu dari tanah dan ruh ilahi, Allah menganugerahkan
manusia empat daya, yakni :
a.
Daya
tubuh, yang mengantarkan manusia berkekuatan fisik. Berfungsinya organ tubuh
dan panca indera berasal dari daya ini.
b.
Daya
hidup, yang menjadikannya memiliki kemampuan mengembangkan dan menyesuaikan
diri dengan lingkungan, serta mempertahankan hidupnya dalam menghadapi
tantangan
c.
Daya
akal, yang memungkinkannya memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi
d.
Daya
kalbu, yang memungkinkannya bermoral, merasakan keindahan, kelezatan iman dan
kehadiran Allah. Dari daya inilah lahir intuisi dan indra keenam.
Apabila
keempat daya tersebut digunakan dan dikembangkan dengan baik. Maka kualitas
pribadi akan mencapai puncaknya.
7.
ISLAM
GIZI, DAN KESEHATAN MASYARAKAT
Para ulama
menyepakati bahwa ajaran islam bertujuan memelihara 5 hal pokok : agama, jiwa, akal,kehormatan, dan kesehatan.
Gizi berperan
penting dalam membina dan mempertahankan kesehatan seseorang. Semua orang
berkewajiban untuk memelihara kesehatannya. Dalam arti lain yakni gizi
merupakan tangga pertama untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan.
8.
ISLAM,
KEPENDUDUKAN, DAN LINGKUNGAN HIDUP
Masalah penduduk merupakan masalah yang sangat
menyita perhatian publik. Masalah penduduk ini mencakup pertumbuhan penduduk,
kesehatan, tingkat pendidikan yang rendah, dan berdampak pada kerusakan
lingkungan.kesejahteraan didambakan oleh agama, dan dapat terwujud melalui
unsur unsur : Seluruh anggota keluarga menjalankan tugasnya dengan baik, materi
keluarga yang dapat tercukupi.
9.
ISLAM
DAN PEMBANGUNAN
Pembangunan
islam dapat dicapai melalui : manusia dan kehidupan, ciri pokok pembangunan
islam, pembangunan dan pengamalan pancasial, landasan ekonomi islam. Ke empat
aspek tersebut tercapai dengan adanya kesadaran dan rasa syukur atas petunjuk
Nya yan diberikan kepada kita. Serta landasan islam harus tetap berlandaskan
pada ajaran-ajaran Islam.
G. ISLAM
DAN TUNTUNAN IBADAH
1. TUJUAN
PUASA MENURUT AL-QUR’AN
Puasa dalam arti “mengendalikan dan
menahan diri untuk tidak makan dan minum dalam waktu tertentu” dilakukam antara
lain dengan tujuan memelihara kesehatan atau merampingkan tubuh.
Puasa yang dilakukan umat islam di garis
bawahi oleh Al-Quran sebagai “bertujuan untuk memperoleh takwa”. Tujuan
tersebut tercapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri, yang memerlukan
pemahaman terhadap dua hal pokok menyangkut hakikat manusia dan kewajibannya di
bumi ini. Pertama, manusia diciptakan oleh Tuhan dari tanah, kemudian
dihembuskan kepadanya Roh ciptaan-Nya, dan diberikan potensi untuk
mengembangkan dirinya hingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya untuk
menjadi khalifah di bumi ini. Kedua, dalam perjalanan manusia menuju ke bumi,
ia (Adam) melewati (“transit” di) surga, agar pengalaman yang diperolehnya
disana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugan pokoknya dibumi ini.
2.
LAYLAT
AL-QADR
Kata qadr sendiri paling tidak digunakan
untuk tiga arti :
1. Penetapan dan
pengaturan sehingga Laylat Al-Qadr
dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Al-Quran
yang turun pada malam Laylat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allh SWT
mengatur dan menetapkan khithah dan
strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw.
2. Kemuliaan. Malam
tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih
sebagai malam turunnya Al-Quran seta karena ia menjadi titik tolak dari segala
kemuliaan yang dapat dirain.
3. Sempit.
Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun
ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin
Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
3. MAKNA
HALAL BIHALAL
Silaturahim adalah kata
majemuk yang terambil dari kata bahasa Arab, shilat dan rahim. Kata shilat
berakar dari kata washl yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”.
Kita tidak menemukan dalam Al-Quran atau
hadis suatu penjelasan tentang arti halal
bihalal. Paling tidak istilah halal
bihalal dapat memberikan tiga arti
yang berbeda atau, paling tidak, salah satunya dapat mempunyai arti yang lebih
dalam daripada arti yang dikandung oleh dua pengertian lainnya
Halal
yang oleh
para ulama dipertentangkan dengan kata haram,
apabila diucapkan dalam konteks halal
bihalal, akan memberikan kesan bahwa dengan cara tersebut mereka yang
melakukannya akan terbebas dari dosa. Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum, menjadikan sikap kita yang
tadinya haram, atau yang tadinya berdosa, menjadi halal atai tidak berdosa
lagi.
4.
HAKIKAT
IDUL FITRI
Id berarti “kembali”
dan fitri berarti “agama yang benar” atau “kesucian” atau “asal kejadian”.
Dalam hal ini, Nabi saw bersabda, “Al-din
al-mu’amalah.” Nasihat-menasihati dan tenggang rasa juga termasuk dalam
ajaran agama karena Nabi saw juga bersabda “Al-din
al-nashihah.” Dengan demikian, setiap yang ber-idul fithri harus sadar
bahwa setiap orang dapat melakukan kesalahan, dan dari kesadarannya itu, ia
bersedia untuk memberi dan menerima maaf. Fitrah
berarti kesucian. Ini dapat dipahami bahkan dirasakan maknanya pada saat
Anda duduk terenung seorang diri.
5. SOAL
ZAKAT DAN ‘AMIL ZAKAT
Zakat
adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Seseorang yang telah memenuhi
syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar
kemurahan hatinya, tetapi kalau terpaksa “dengan tekanan penguasa”. Zakat
memiliki berbagai dampak yakni memiliki sifat dermawan, menciptakan ketenangan
dan ketentraman, dan mengembangkan harta benda.
Para ulama berselisih paham menyangkut
perincian syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang diangkat
sebagai amil zakat. Syarat-syarat tersebut adalah : (1) Muslim (2) akil balig
dan terpercaya (3) mengetahui hukum-hukum menyangkut zakat, dan (4) mampu melaksanakan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.
Pada garis besarnya, para amil zakat
dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar: (1) para pengumpul, dan (2)
para pembagi. Para pengumpul bertugas
mengamati dan menetapkan para muzakkiy, menetapkan jenis-jenis harta mereka
yang wajib dizakati, dan jumkah yang harus mereka bayar. Para pembagi bertugan mengamati dan menetapkan, setelah pengamatan
dan penelitian yang seksama, siapa saja yang berhak mendapatkan zakat,
perkiraan kebutuhan mereka, kemudian membagikan kepada mereka masing-masing
yang membutuhkan dengan mempertimbangkan jumlah zakat yang diterima dan
kebutuhan mereka masing-masing.
6. MAKNA
IBADAH HAJI
Tauhid, keyakinan akan keesaan Allah
SWT, merupakan penemuan manusia yang terbesar dan tidak dapat diabaikan oleh
para ilmuwan atau sejarahwan. Keyakinan atas keesaan Tuhan juga mengantar
manusia menyadari bahwa semua manusia berada dalam kedudukan yang sama dari
segi nilai kemanusiaan. Karena, semua mereka diciptakan dan berada di bawah
kekuasaan Allah SWT.
Salah satu bukti yang jelas tentang
keterkaitan ibadah haji dengan nilai-nilai kemanusiaan adalah isi khutbah Nabi
saw pada haji Wada’ (haji perpisahan)
yang intinya menekankan: (a) persamaan, (b) keharusan memelihara jiwa, harta,
dan kehormatan orang lain, (c) larangan-larangan melakukan penindasan atau
pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun bidang-bidang lain.
7. MAKNA
ISRA’ DAN MI’RAJ
Salah
satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan ruhani
manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra’ dan Mi’raj merupakan salah satu
cara pembuatan skema ruhani tersebut.
Di
sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak
mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain
Kedua, segala sesuatu,
menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakan
sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak.
Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti
hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu
8. HIKMAH
HIJRAH
Setiap
pekerja yang dilakukan seseorang pasti mempunyai motivasi atau niat. Hal ini
pernah ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw., ketika seorang sahabatnya pergi
berhijrah dari Makkah ke Madinah: “Setiap pekerjaan harus atau pasti disertai
oleh niat. Maka, barang siapa hijrahnya didorong oleh niat karena Allah,
hijrahnya akan dinilai demikian. Dan barang siapa hijrah didorong oleh
keinginan mendapat keuntungan duniawi atau karena ingin mengawini seorang
wanita, maka hijrahnya dinilai sesuai dengan tujuan tersebut.”
Hijrah
Rasulullah saw telah berlalu empat belas abad lamanya. Namun, dari hijrah dan
celah-celah peristiwanya, banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik. Berikut
ini beberapa di antaranya.
1. Pengorbanan
2. Makna
Hidup
3. Tawakal
dan Usaha
H.
ISLAM
DAN PERAN ULAMA
1. MAKNA
UKHUWAH ISLAMIYAH
Ukhuwwah pada mulanya
berarti “persamaan dan keserasian dalam banyak hal”. Karenanya, persamaan dalam
keturunan mengakibatkan persaudaraan, persamaan dalam sifat-sifat juga
mengakibatkan persaudaraan. Dalam kamus-kamus bahasa, ditemukan bahwa kata akh
juga di gunakan dalam arti teman akrab atau sahabat.
Bentuk
jamak dari akh dalam Al-qur’an ada
dua macam. Pertama, ikhwan yang
biasanya digunakan untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kedua, adalah ikhwah keseluruhannya di
gunakan untuk makna persaudaraan se keturunan.
Kalau
kita mengartikan ukhuwah dalam arti “persamaan” sebagaimana arti asalnya dan
penggunaannya dalam beberapa ayat dan hadis, kemudian merujuk kepada Al-Qur’an
dan sunnah, maka paling tidak kita dapat menemukan ukhuwah tersebut tecermin
dalam empat hal berikut :
(1) Ukhuwwah fi
al-‘ubudiyyah, yaitu bahwa seluruh makhluk adalah
bersaudara dalam arti memiliki persamaan.
(2) Ukhuwwah fi
al-insaniyah, dalam arti seluruh umat manusia
adalah bersaudara, karena mereka semua bersumber dari ayah dan ibu yang satu.
(3) Ukhuwwah fi
al-wathaniyah wa al-nasab, persaudaraan dalam
keturunan dan kebangsaan seperti yang disyaratkan oleh ayat wa ila ‘ad akhahum Hud, dan lain-lain.
(4) Ukhuwwah fi din
al-islam, persaudaraan antar sesama Muslim.
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan
dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan
semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan dalam rasa dan cita merupakan faktor
yang sangat dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki dan yang pada
akhirnya menjadikan seorang saudara merasakan derita saudaranya.
2. KERAGAMAN
DAN KERUKUNAN MENURUT AL-QUR’AN
Perbedaan
pendapat dalam segala aspek kehidupan manusia merupakan satu fenomena yang
telah lahir dan akan berkelanjutan sepanjang sejarah kemanusiaan. Perbedaan-perbedaan itu dan semacamnya,
kemudian berkembang dan menjadikan umat islam berkelompok-kelompok. Lalu muncul
Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, dan sebagainya.
Sebelum
dikemukakan kaitan antara keragaman dan kebebasan beragama, perlu digaris
bawahi dua hal. Pertama, bahwa ayat
256 surat Al-Baqarah, yang biasa di gunakan sebagai argumentasi tentang
kebebasan beragama, hanya berkaitan dengan kebebasan memilih agama islam atau
selainnya. Seseorang yang dengan sukarela serta penuh kesadaran telah memilih
satu agama, maka yang bersangkutan telah berkewajiban untuk melaksanakan ajaran
agama tersebut secara sempurna. Kedua, satu
dari lima tujuan pokok ajaran agama adalah pemeliharaan.terhadap agama itu
sendiri, yang antara lain menuntut peningkatan pemahaman umat terhadap ajaran
agamanya serta membentengi mereka dari setiap usaha pencemaran atau pengeruhan
kamurniannya.
Manusia
diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih dan menetapkan jalan hidupnya, serta
agama yang dianutnya. Tetapi kebebasan ini bukan berarti kebebasan memilih
ajaran-ajaran agama pilihannya itu, mana yang dianut dan mana yang ditolak. Karena,
“Tuhan tidak menurunkan suatu agama untuk dibahas oleh manusia dalam rangka
memilih yang dianggapnya sesuai dan menolak yang tidak sesuai”.
3. SELAMAT
NATAL MENURUT AL-QUR’AN
Dari kisah Natal dari Al-Qur’an Surah
Maryam ayat 34. Dengan demikian, Al-Qur’an mengabadikan dan merestui ucapan
selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa a.s. Isa a.s. datang
membawa kasih, “Kasihilah seterumu dan doakan yang menyayangimu.” Muhammad saw.
Datang membawa rahmat, “Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit
merahmatimu.” Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena itu, keduanya bangga
dengan kemanusiaan.
Isa menunjuk dirinya sebagai “anak
manusia”, sedangkan Muhammad saw. Diperintahkan oleh Allah untuk berkata; “Aku
manusia seperti kamu.” Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan
ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa
anak Jairus yang sakit telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan
kekeliruan mereka dengan berkata, “Dia tidak mati, tetapi tidur.” Dan ketika
terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: “Matahari
mengalami gerhana karena kematiannya.” Muhammad saw. Lalu menegur, “Matahari
tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang.” Keduanya
datang membebaskan manusia baik yang kecil, lemah dan tertindas dhu’afa dan al-mustadh’afin dalam
istilah Al-Qur’an.
Dengan demikian tidak ada salahnya
mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat di pelihara dan selama
ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an sendiri yang telah
mengabadikan selamat natal itu. Itulah antara lain alasan yang membenarkan
seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri ucapan Natal yang bukan
ritual. Hal ini dikarenakan Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat
dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama
agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula bila kesucian akidah ternodai oleh
atau atas nama kerukunan.
4. ULAMA
KAUM MUDA DAN PEMERINTAH
“Para ulama adalah pewaris
para nabi”, dapat di pahami bahwa para ulama – melalui pemahaman, pemaparan dan
pengamalan kitab suci – bertugas memberikan petunjuk dan bimbingan guna
mengatasi perselisihan-perselisihan pendapat, problem-problem sosial yang
berkembang di masyarakat. Dengan demikian, peran yang di tuntut dari para ulama
adalah musabaqahb bi al-khayrat (berlomba
dalam berbuat kebajikan).
Banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan antara ulama di satu pihak, dan
pemuka-pemuka masyarakat, pemuda, dan pemerintah di lain pihak. Masyarakat,
menurut kodratnya, selalu berubah. Perubahan itu di tandai dengan kemajuan umat
manusia di segala bidang.
Pemerintah, yang sadar
akan fungsi agama dan pengaruhnya yang besar dalam menggalakkan pembangunan,
mengharapkan ulama menjadi rekan utama pemerintah dalam segala waktu dan
persoalan. Khususnya dalam ajaran islam.
Dari sini dapat
disimpulkan beberapa langkah yang harus segera dirinti. Pertama, temu muka dan keterbukaan antara ulama dan pemerintah yang
hendaknya di dahului oleh prasangka baik dari kedua belah pihak. Kedua, pertemuan-pertemuan antar ulama,
baik yang terhimpun dalam majelis ulama maupun diluarnya, untuk pembicaraan
bersama-sama pandangan tentang masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul. Ketiga, peremajaan ulama, dalam arti
membebankan kepada kaum muda bagian dari tugas-tugas yang dipukul ulama.
5. ULAMA
SEBAGAI PEWARIS NABI
Ada emapat tugas utama yang harus
dijalankan ulama sesuai dengan tugas kenabian dalam mengembangkan kitab suci :
Pertama, menyampaikan
(tabligh) ajaran-ajarannya, sesuai
dengan perintah
Kedua, menjelaskan
ajaran-ajarannya berdasarkan ayat
Ketiga, memutuskan
perkara atau problem yang dihadapi masyarakat berdasarkan ayat
Keempat, memberikan
contoh pengamalan, sesuai dengan hadis Aisyah, yang diriwayatkan oleh bukhari
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Banyak sekali hal-hal yang harus
ditelaah dalam mempelajari Al-Qur’an dan bagaimana kita dalam menafsir arti
dari isi Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an juga terdapat pembaharuan yang harus
kita sadari bahwa hal tersebut merupakan suatu wujud petunjuk bagi kaum muslim
agar kita tetap pada jalan Nya.
Agama Islam datang dan memperkenalkan
Al-Qur’an pada kehidupan diri sendiri dan masyarakat, agar dapat meluruskan
perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh para ulama. Didalam Al-Qur’an juga
membahas tentang adanya kehidupan dan kematian, agar kita selalu bersyukur
kepada Nya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di muka bumi ini.
Islam menerima dan mengembangkan yang
terpuji dan menolak yang tercela. Karena pada masa sekarang, sudah dipengaruhi
oleh pola tingkah laku manusia. Sehingga perlu adanya nilai – nilai keislaman
yang harus kita jadikan pedoman.
b. Saran
dalam memahami suatu materi, pelajarilah
materi dasarnya terlebih dahulu. Karena itu sangatlah membantu dalam
mempelajari materi yang lebih tinggi.
Dan makalah ini merupakan sebagian dasar
kunci kecil untuk mengaplikasianya kedalam kehidupan, karena sebagai mana
dijelaskan kitab adalah pedoman hidup manusia dan buku adalah kunci kehidupan
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar