Jumat, 17 Juni 2016

AIK IV


BAB I

PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang

Al-Qur’an datang dengan membuka lebar-lebar mata manusia, agar mereka menyadari jati diri dan hakikat keberadaan mereka di muka bumi ini. Juga agar mereka tidak terlena dengan kehidupan ini. Sehingga mereka tidak menduga bahwa hidup mereka dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan kematian. Juga sebagai firman Allah yang menjadi petunjuk mengenai apa yang dikehendakiNya. Jadi manusia yang ingin menyesuaikan dengan apa yang dikehendakiNya itu, demi meraih kebahagiaan akhirat, harus dapat memahami maksud petunjuk-petunjuk tersebut.

Demikiann Allah menjamin keontetikan Al-Qur’an, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatauan Nya serta berkat upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk Nya, terutama oleh manusia. Menghafal Al-Qur’an adalah kemuliaan yang diberikan oleh Allah zat yang menurunkan Al-Qur’an kepada hambanya yang terpilih. Karena dalam lafadz-lafadz Al-Qur’an ayat-ayatnya terdapt keindahan, kenikmatan dan kemudahan. Oleh karena itu, alangkah baiknya apabila manusia lebih banyak menggunakan Al-Qur’an.

Sementara pendapat tokoh (Islam dan Barat ) hanya sebagai jalan untuk menjelaskan keterangan-keterangan Al-Qur’an dan hadist tentang masalah – masalah.



B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan bukti kebenaran Al-Qur’an serta hikmahnya ?

2.      Bagaimana sejarah perkembangan tafsir serta kebebasan dan pembatasan dalam tafsir ?

3.      Bagaimana hubungan Hadist dan Al-Qur’an serta masalah di dalamnya ?

4.      Apa yang terkandung dalam gagasan Al-Qur’an tentang pembudayaan Nya ?

5.      Bagaimana peran Islam dalam diri manusia serta makna kehidupan dalam Al-Qur’an ?

6.      Bagaimana peran Islam dalam kemasyarakatan ?

7.      Apa makna tujuan puasa, halal bihalal, zakat, ibadah haji, isra’ mi’raj serta hijrah menurut Al-Qur’an ?

8.      Bagaimana Islam dalam menghadapi keragaman Peran Ulama ?



C.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui bukti kebenaran Al-Qur’an

2.      Untuk memahami sejarah perkembangan tafsir serta kebebasan dan pembatasan dalam tafsir

3.      Untuk mengetahui hubungan Hadist dan Al-Qur’an serta masalah di dalamnya

4.      Untuk mengetahui isi dari kandungan gagasan Al-Qur’an tentang pembudayaan Nya

5.      Untuk mengetahui peran islam dalam diri manusia serta makna kehidupan dalam Al-Qur’an

6.      Untuk memahami peran islam dalam kemasyarakatan

7.      Untuk mengetahui tujuan puasa, halal bihalal, zakat, ibadah haji, isra’ mi’raj serta hijrah menurut Al-Qur’an

8.      Untuk mengetahui Islam dalam menghadapi keragaman Peran Ulama

           









BAB II

PEMBAHASAN



A.    BUKTI KEBENARAN AL-QUR’AN

1.      KEONTETIKAN AL QUR’AN

Al qur’an al karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifatnya. Salah satunya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keontetiknnya dijamin oleh allah dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Beberapa faktor pendukung bagi pembuktian otensitas al qur’an :

1.                Masyarakat arab yang hidup pada masa turunya al qur’an adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis, satu satunya andalan mereka adalah hafalan. Dalam hal hafalan orang arab sampai sampai saat ini dikenl dengan kuat.

2.                Masyarakat arab, khususnya pada masa turunnya al qur’an dikenal sebagai maasyarakat sederhana dan bersahaja.

3.                Al qur’an adalah petunjuk kebahagiaan dunia akhirat.

4.                Ayat al qur’an turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyyan pertanyaan mereka.

5.                Dalam al qur’an ditemukan petunjuk petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati hati dalam menyampaikan berita.



Bukti  kebenaran al qur’an

Al qur’an mempunyai sekian banyak fungsi, diantaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahab :

1.      Menantang siapapun yang meragukannya untuk menyusun semacam al qur’an secara keseluruhan

2.      Menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam al qur’an , seluruh al qur’an berisikan 114 surah

3.      Menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam al qur’an

4.      Menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari al qur’an.

Dalam hal ini al qur’an menegaskan, katakanlah (Hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jalan berkumpul untuk membuat yang serupa al qur’an, niscahya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain (QS.17:88) walaupun al qur’an menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad tapi fungsi utamanya adalah menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia. Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama.

Ada tiga aspek dalam al qur’an yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikan adalah benar bersumber dari Allah SWT.

Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksiannya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita yang tidak memahami dan memiliki rasa bahasa arab karena keindahan diperoleh melalui perasaan bukan melalui nalar, namun demikian ada satu atau dua hal menyangkut redaksi al qur’an yang dapat membantu pemahaman aspek ini

Kedua, adalah pemberitaan ghaibnya, fir’aun yang mengejar ngejar nabi musa, diceritakan dalm surah Yunus, pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa “badan fir’aun tersebut akan diselamatkan tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. nanti pada awal abad ke 19, tepatnya pada tahun 1896 ahli purbakala loret menemukan dilembah raja raja luxor mesir, satu yang bernama manipth dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s .

Ketiga, isyarat isyarat ilmiahnya banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam al qur’an. Misalnya di isyaratkannya bahwa cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari).



2.      HIKMAH AYAT ILMIAH AL QUR’AN

Ada sekian kebenaran ilmiah al qur’an, tetapi tujuan pemapamaran ayat ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran tuhan dan ke Esaanya, serta mendorong manusia seluruhnya unruk mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaankepada Nya. Mahmud Syaltut mengatakan dalam tafsirannya : ‘ sesungguhnya tuhan tidak menurunkan al qur’an untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori teori ilmiah, problem problem seni serta aneka warna pengetahuan. Al qur’an tidak menerangkan hakikat ruh karena tujuan pokok al qur’an bukan menerangkan persoalan persoalan ilmiah, tetapi tujuannya adalah memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidupnya didunia dan akhirat kelak. Syeikh Mahmud Syaltut setelah membawakan kedua ayat tersebut, lalu menulis : tidakkah terdapat dalam hal ini (kedua ayat tersebut) bukti nyata yang menerangkan bahwa al qur’an bukan satu kitab yang dikehendaki Allah untuk menerangkan (kebenaran kebenaran ilmiah dalam alam semesta) tetapi ia adalah kitab petunjuk islah dan tasyri

AL-Zamakhsyari berpendapat bahwa mempelajari tafsir al qur’an merupakan ‘fardhu ayn’ setiap muslim wajib mempelajari dan memahami al qur’an, tetapi ini bukan berarti bahwa ia harus memahaminya sesuai dengan pemahaman orang orang dahulu kala, karena seorang muslim diperintahkan oleh al qur’an untuk mempergunakan akal pikirannya serta mencemoohkan mereka yang hanya mengikuti orang orang tua dan nenek moyang tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya mereka lakukan adakah mereka ala hudan(dalam kebenaran)atau ala dhalal(dalam kesesatan). Setiap muslim wajib memahami al qur’an karena ayat ayatnya tidak diturunkan hanya khusus untuk orang orang arab di zama Rasullullah ini. Tetapi al qur’an adalah untuk semua manusia sejak dari zaman turunnya hingga akhir kiamat.



B.     SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR

Pada saat Al-Quran di turunkan, Rasul saw yang berfungsi sebagai mubayyin ( pemberi penjelasan ), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami artinya. Dari penafsiran Rasul saw, penafsiran sahabat-sahabat serta penafsiran tabi’in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yagn dinamai Tafsir bi Al-Ma’tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.

Corak-corak penafsiran yang dikenal antara lain :

a.       Corak sastra bahasa

b.      Corak filsafat dan teologi

c.       Corak penafsiran ilmiah

d.      Corak tasawuf

e.       Corak sastra budaya kemasyarakatan

Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Quran Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian tertentu dari surat. Kemudian merangkaianya dengan tema sentral yang terdapat dalam surat tersebut. Metode ini bernama metode mawdhu’iy.

Dengan demikian, metode mawdhu’iy mempunyai dua pengertian :

1.      Menafsirkan menyangkut satu surat dalam Al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan secara umum dan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan

2.      Penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat – ayat Al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Qur’an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutanya. Kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.



1.      KEBEBASAN DAN PEMBATASAN DALAM TAFSIR

Al-Qur’an merupakan bukti kebeanaran Nabi Muhammad saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun. Memiliki berbagai macam keistimewaan. Antara lain : susunan bahasanya yang unik memesonakan, dan pada saat yang sama mengandung makna – makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Dari sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firmah-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.

Dalam menafsirkan Al-Qur’an terdapat kebebasan kepada manusianya, bila didasari bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasanya, tetapi juga oleh disiplin ilmu oleh pengalaman, penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik dan sebagainya. Tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda dan tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Qur’an. Walaupun berbeda pendapat, harus ditampung karena ini sudah konsekuensi logis selama penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.

Dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut : (a) pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya ; (b) pengetahuan tentang ilmu – ilmu Al-Qur’an, sejarah turunanya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh ; (c) pengetahuan tentang prinsip pokok keagamaan ; dan (d) pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Dalam hal ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi, yaitu :

1.      Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat Al-Qur’an. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir. Selama yang dikemukakanya berdasarkan pemahaman paraahli tafsir.

2.      Faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain :

a.       Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah

b.      Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat

c.       Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian

d.      Tidak memperhatikan konteks, baik hubungan antar ayat maupun kondisi sosial masyarakat

e.       Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan

Disamping apa yang telah dikemukakan diatas, masih ditemukan pula beberapa pembatasan menyangkut perincian penafsiran, khususnya dalam tiga bidang, yaitu :

1.      Perubahan Sosial

2.      Perkembangan ilmu pengetahuan

3.      Bidang bahasa



2.      TAFSIR DAN MODERNISASI

Al-Qur’an turun sebagai Kitab pedoman umat Islam agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang. Dari salah satu ayat yang menyatakan bahwa masyarakat terus-menerus berubah dan berkembang menyimpulkan bahwa Al-Qur’an menganjurkan pembaharuan yang disebut Tajdid.

Dari beberapa simpulan mengenai arti Tajdid, didapatkan rumusan bahwa Tajdid yaitu menyeberluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf al-awwal. Sebaliknya, ada pula yang memahami tajdid sebagai usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.

Pandangan tentang Modernisasi Tafsir

1.      Hadis-hadis dan pendapat-pendapat sahabat

Penafsiran yang paling ideal adalah tafsir bi al-ma’tsur, yakni berlandaskan ayat, hadis, dan pendapat sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an. Penafsiran ini dapat dibagi dalam dua kategori : masalah metafisika, perincian ibadah dan masalah kemasyarakatan.

Yang pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, diterima sebagai pengembangan karena sifatnya berada pada luar jangkauan akal. Yang kedua, walaupun penafsiran Nabi saw benar adanya, namun penafsiran tersebut harus ditempatkan pada porsinya yang tepat.

2.      Perkembangan antara yang Qath’iy dan yang Zhanniy

Dari perbedaan kedua diatas, timbul ide pembedaan antara Syari’at dan fiqih. Syari’at adalah sesuatu yang ditetapkan berdasarkan  nash-nash qath’iy baik dari segi keaslian sumbernya maupun pengertianya. Sedangkan fiqih adalah penafsiran terhadap nash-nash.

3.      Penggunaan Ta’wil dan Metafora

Pada masa al-salaf al-awwal, ulama-ulama enggan menggunakan ta’wil atau memberi arti metaforis bagi teks-teks keagamaan. Setelah masa al-salaf al-awwal, keadaan telah berubah. Hampir seluruh ulama telah mengakui perlunya ta’wil dalam berbagai bentuk nya. Al-Sayuti misalnya, menilai majaz sebagai bentuk keindahan bahasa. Namun walaupun mereka sepakat menerimanya, perbedaan pendapat timbul dalam menetapkan syarat-syarat bagi penggunanya.

Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi setiap pen-ta’wil-an :

a.       Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya.

b.      Makna yang dipilih telah dikenal oleh bahasa arab klasik.

Sementara pembaru dinilai sangat memperluas penggunaan ta’wil tanpa suatu alasan yang mendukungnya.

C.    ILMU TAFSIR DAN PROBLEMATIKNYA

1.      HUBUNGAN HADIST DENGAN AL-QUR’AN

Hadist adalah segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad S.A.W yang berisi tentang "Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.". Sedangkan Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W untuk penyempurna dari kitab- kitab yang sudah ada sebelumnya dan sebagai pentunjuk yang akan digunakan secara terus menerus untuk umat.

Tetapi harus diakui bahwa ada segi perbedaan penyampaiaan atau penerimaan antara Al-Qur’an dan Hadist. Dari segi redaksi Al-Qur’an langsung disusun oleh Allah kemudian Malaikat Jibril hanya sebagai menyampaikan kepada Nabi Muhammad S.A.W dan cara penyampaiaannya tidak akan pernah keliru karena Nabi menghafalkannya dan menyampaikannya secara tawatur. Hal ini berbeda dengan Hadist yang pada umumnya disampaikan dari satu orang ke orang lain.

2.      FUNGSI HADIST DALAM AL-QUR’AN

sebagai penjelas dari firman – firman Allah. Tetapi banyak sekali muncul pertanyaan apakah hadist dan sunnah dapat menetapkan hukum baru yang belum ada sebelumnya di dalam Al-Qur’an? Banyak sekali pendapat bermunculan dari pertanyaan tersebut. Tapi ada beberapa pendapat, menurut Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa alhadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Akan tetapi menurut Imam Syafi’i Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran.

Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).

3.      PEMAKNAAN ATAS HADIST

hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw., menurut Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya sependapat dengan ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian.

Bidang ini menurutnya adalah ma'qul alma'na, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterima atas dasar qath'iy al-wurud.

4.      FUNGSI POSISI SUNNAH DALAM TAFSIR

bahwa di satu pihak, kekeliruan pemahaman tentang kedudukan, fungsi dan sejarah perkembangan hadis timbul akibat dangkalnya pengetahuan (agama). Dan di pihak lain, ia terjadi akibat pendangkalan agama yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam (khususnya para orientalis yang tidak bertanggung jawab) yang mengatasnamakan penelitian ilmiah untuk tujuan-tujuan tertentu.

5.      AYAT KAWNIYYAH DALAM AL-QUR’AN

Ayat kawniyyah sendiri adalah penguraian tentang berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang menyangkut alam raya dan fenomenannya. Tetapi bukan berarti Al_qur’an sama dengan kitab ilmu pengetahuan atau pengurai kitab ilmiah. Dan bukan berarti al-Qur’an sebagai yang mengandung segala sesuatu, tetapi Al-Qur’an adalah sebagai pokok petunjuk yang menyangkut segala sesuatu yang ada dikehidupan baik dunia maupun akhirat. Jadi ayat kawniyyah dalam al-qur’an sebagai pengurai pentunjuk persoalan hidup baik di dunia maupun diakhirat.

Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk  mengetahui dan memanfaatkan hukum yang mengatur alam raya, dan alam tidak dapat dilepaskan dari ketetapan yang Allah buat, kecuali atas kehendak dari Allah SWT. Dan sebagai manusia pengetahuan dan pemanfaatan alam raya bukanlah sebuah tujuan puncak melainkan agar kita mengenal dan mengetahui siapa pemilik alam raya ini.

Atas dilarangnya penafsiran secar spekulatif maka tidsk dibenarkan penafsiran alquran berdasar pada penemuan ilmiah. Banyak perbedaan pendapat tentang hal ini, tapi yang pasti setiap manusia memiliki kewajiban mempercayai segala sesuatu yang mengatas namakan al-qur’an sebgai pembenarannya maka itu bukanlah hal yang baik karena hal tersebut belum tentu kebenarannya.

Segi bahasa al-qur’an dan kolerasi antar ayatnya,yaitu bila kita ingin memahami al-qur’an maka jangan hanya satu ayatnya tapi pahami ayat sebelum dan sesudahnya karena semua itu selalu berkaitan, memang banyak kekeliruan dalam penafsiran al - qur’an karena kelemahan dalam bidang bahasa dan kedangkalan penegtahuan terhadap objek bahasan ayat.



D.    GAGASAN AL-QUR’AN TENTANG PRMBUDAYAAN-NYA

1.      FALSAFAH DASAR IQRA

Iqra’ atau perintah membaca adalah kata pertama dari wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Sangat penting sehingga diulang dua kali dalam rangkaian wahyu pertama. Perintah tersebut tidak semata-mata ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, namun ditujukan pula kepada umat manusia sepanjang sejarah, karena realisasi perintah tersebut merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Perintah membaca, menelaah, meneliti, menghimpun dan sebagainya.

2.       KONSEP PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN

 Petunjuk Al-Qur’an bertujuan untuk memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia baik secara pribadi maupun secara kelompok. Rasulullah saw bertindak sebagai penerima Al-Quran bertugas untuk menyampaikan, menyucikan, dan mengajarkan kepada manusia. Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia.

Pada hakikatnya manusia diciptakan di muka bumi ini sebagai khalifah. Kekhalifahan mengharuskan empat sisi yang paling berkaitan, yaitu pemberi tugas, penerima tugas, tempat atau lingkungan dan materi penugasan yang harus dilaksanakan. Kalau uraian tersebut dikaitkan dengan pembangunan nasional yang bertujuan “membangun manusia Indonesia seutuhnya” maka jelaslah apa yang ingin dicapai, yakni terbentuknya manusia yang :

a.       Tinggi takwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa

b.      Cerdas dan terampil

c.       Berbudi pekerti luhur dan berkepribadian, dan

d.      Memiliki semangat kebangsaan

Al-Quran Al-Karim dalam mengarahkan pendidikannya kepada manusia dengan memandang, menghadapi, dan memperlakukan makhluk tersebut sejalan dengan unsur penciptaannya yaitu jasmani, akal dan jiwa.

Al-Quran menekankan kepada umatnya untuk menuntut ilmu sepanjang hayat. Nabi Muhammad saw sekalipun yang telah mencapai puncak segala puncak masih diperintahkan untuk selalu memohon (berdoa) sambil berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah kebenaran dan rugilah orang yang tidak mengajarkan kebenaran yang diketahuinya.

3.      MENGAJARKAN TAFSIR DI PERGURUAN TINGGI

Dalam sebuah pengajaran di perguruan tinggi, ketika dosen menekankan pengajaran mengenai kaidah-kaidah tafsir, diharapkan mampu memahami ayat-ayat yang tidak dijelaskan itu berdasarkan kaidah-kaidah yang dipelajarinya. Dan dibutuhkan ketelitian karena sebagian materi disajikan sangat ketinggalan zaman.

Penyampaian bahan pelajaran kepada peserta didik dalam perguruan tinggi meliputi metode mengajar, alat bantu mengajar, dan penilaian. Memilih metode pengajaran tafsir di perguruan tinggi berkaitan erat dengan banyak hal, antara lain problem-problem yang dihadapi, kondisi objektif perguruan tinggi, dosen, mahasiswa, perpustakaan serta tujuan pengajaran yang ingin dicapai. Saat ini dibutuhkan komunikasi aktif dari tiga arah yakni antar sesama dosen, antar dosen dan mahasiswa, dan antara mahasiswa dengan sesama mahasiswa..

4.      PENGAJARAN AKIDAH DAN SYARI’AH DI SEKOLAH

Dalam bidang akidah, para ahli keislaman menemukan banyak materi-materi akidah (teologi) tidak sepenuhnya relevan dengan kondisi masa kini. Materi-materi tersebut diambil oleh generasi ke generasi. Sehingga terdapat perbedaan antara materi akidah saat pertama kali dengan sekarang ini.

Dalam bidang syari’ah terdapat beberapa materi seperti bersuci, aurat, shalat, dan zakat harus disajikan kepada anak didik sedini mungkin. Dan penyajian metode harus sesuai dengan jangkauan pikiran mereka.

5.      SOAL PENILAIAN DALAM MTQ

Cabang musabaqah tafsir Al-Quran mencakup dua aspek yaitu aspek tafsir dan aspek hifzh Al-Quran. Dalam pedoman musabaqah Al-Quran dijelaskan bahwa tujuan Musabaqah Tafsir Al-Quran adalah :

a.       Menggairahkan dan menggalakkan generasi muda Islam untuk menghapal dan menafsirkan Kitab Suci Al-Quran.

b.      Mencetak kader-kader ulama hafizh Al-Quran yang ahli dalam tafsir Al-Quran.

c.       Mencari calon-calon hafizh dan mufassir terbaik untuk dikirim ke Musabaqah Al-Quran Al-Karim Internasional di Makkah Al-Mukkaramah

Penilaian aspek hifzh antara lain: tahfizh, tajwid dan fashahah dan adab

6.      METODE DAKWAH AL-QUR’AN

Al-Quran Al-Karin adalah suatu kitab dakwah yang mencakup sekian banyak permasalahan atau unsur dakwah seperti da’i, mad’uw, da’wah, metode dakwah dan cara-cara penyampaiannya. Materi dakwah yang dikemukakan oleh Al-Quran berkisar pada tiga masalah pokok : akidah, akhlak dan hukum. Sedangkan metode dakwah untuk mencapai ketiga sasaran tersebut secara umum dapat terlihat pada :

a.       Pengarahan-pengarahannya untuk memperhatikan alam raya

b.      Peristiwa-peristiwa masa lalu yang dikisahkannya

c.       Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan atau semacamnya yang dapat menggugah hati nurani manusia untuk menyadari diri dan lingkungannya

d.      Janji-janji dan ancaman-ancaman duniawi dan ukhrawi.

Pada tahun-tahun terakhir ini, dunia Islam yang pada umumnya adalah negara berkembang yang sedang membangun dan meninjau kembali prioritas tersebut. Kini, materi-materi ajaran agama cenderung dikaitkan dengan kehidupan kemasyarakatan. Pada pokoknya, materi-materi tersebut tercermin dalam tiga hal :

a.       Bagaimana ide-ide agama dipaparkan sehingga dapat mengembangkan gairah generasi muda untuk mengetahui hakikat-hakikatnya melalui partisipasi positif mereka

b.      Sumbangan agama ditujukan kepada masyarakat luas yang sedang membangun, khususnya di bidang sosial, ekonomi dan budaya

c.       Studi tentang dasar-dasar pokok berbagai agama yang dapat menjadi landasan bersama demi mewujudkan kerja sama antar pemeluk agama tanpa mengabaikan identitas masing-masing.

7.      KOMPUTERISASI AL-QUR’AN

Salah satu melaksanakan perintah Tuhan menyangkut penyebarluasan Al-Quran adalah pemanfaatan alat canggih komputer. Dalam usaha tersebut di atas, terlebih dahulu digarisbawahi bahwa komputer hanyalah alat. Ia tidak dapat berfungsi tanpa manusia. Hemat kami usaha komputerisasi Al-Quran seharusnya memberi informasi sebanyak mungkin tiga hal pokok : (a) petunjuk atau hidayah Al-Quran; (b) mukjizat Al-Quran dan (c) perangkat pendukung untuk kedua hal diatas yang merupakan tujuan dan turunnya Al-Quran.



E.     AGAMAN DAN PROBLEMATIKNYA

1.      PERLUNYA BERAGAMA

Agama adalah salah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan menjelaskan maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi akan dirasa sangat sulit untuk mendefinisikannya dari segi keilmuaan.

Pengertian agama ini melalui pendapat yang diajukan Syaikh Muhammad Abdullah Badran, bahwa agama adalah hubungan antara makhluk dan Khaliq-nya. Sementara itu, menurut pakar Islam bahwa benih agama muncul karena manusia menemukan kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Ketika Nabi Adam diturunkan dari surga, ia melakukan perjalanan di muka bumi ini kemudian ia menemukan ketiga hal di atas. Sebagai ilustrasinya, diduga bahwa Adam menemukan keindahan ketika ia melihat indahnya bintang-bintang di langit, kembang bermekaran, dan sebagainya. Ketika ia merasa gerah kepanasan, angin menerpa tubuhnya yang menyegarkan tubuhnya, di sana ia menemukan kebaikan. Kemudian, kebenaran ditemukan di dalam alam raya ciptaan Tuhan serta apa yang ada dalam dirinya.

 Gabungan ketiganya mendatangkan kesucian, karena naluri manusia yang selalu mempunyai rasa ingin tahu, maka ia berusaha mencari kebenaran, keindahan, dan kebaikan tertinggi. Jiwa dan akalnya membawa kepada yang Mahasuci dan berusaha untuk berhubungan dengan-Nya, bahkan berusaha untuk mencontoh sifat-sifat-Nya. Dari sinilah agama lahir, bahkan dari sini pula dilukiskan proses beragama sebagai ”upaya untuk mencontoh sifat-sifat yang Mahasuci”.

2.      UNIVERSALISME ISLAM

Islam berlaku bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia yang selanjutnya disebut sebagai Islam bersifat universal, namun ada pula yang bersifat khusus yang diterima oleh umat Islam sebagai aqidah atau kepercayaan dasar.

 sifat dan ciri-ciri ajaran Islam adalah sebagai berikut: (1) Rabbaniyah; (2) Al-Syumu (keumuman); (3) Al-Waqi’iyyah (atas dasar obyektivitas kenyataan yang dimiliki manusia).

 Sifat universalisme Islam dititik beratkan pada sifat Al-Waqi’iyyah, bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat naluriah seperti yang Al-Quran kukuhkan atau berdasarkan pemahaman kami bahwa fitrahnya manusia itu Islam. Waqi’iyyah tercermin pada prinsip pemberlakuan ketentuan-ketentuan yang dirasa membawa gangguan terhadap fitrah  dibolehkan untuk tidak dipenuhi oleh manusia. Namun, hal tersebut bukan berarti petunjuk-petunjuk yang diberikan ada yang bertolak belakang dengan fitrah manusia. Prinsip yang bersifat universal ini dikenal dengan nama al-qaw’id al-hakimah atau kaidah-kaidah hukum yang memberi keringanan dalam keadaan tertentu (kondisional).

3.      AGAMA : ANTARA ABSOLUTISME DAN RELATIVISME

 Pada umumnya manusia selalu merasa bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar, sehingga persolan kafir-mengkafirkan menjadi paradigma yang tak kunjung terselesaikan. Seperti yang kita pahami bahwa pada dasarnya manusia memang tercipta beragam, baik dari jenis, suku, bangsa maupun agama.

 permasalahan tersebut hendaknya dapat dipahami sebagai sunatullah, sehingga kerukunan antar umat beragama dapat tercapai dengan mudah. Bukan seperti yang telah dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimasi yang mengklaim bahwa agamanya adalah agama yang paling benar dan berusaha untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain.

  Dari sifat Nabi saw, kita dapat mengambil sebuah hikmah yang sangat berharga. Nabi saja yang sebagai pembawa risalah-Nya, memberi contoh mengenai hal kerukunan antar umat beragama, mengapa kita yang mengaku berkeinginan mencontoh ketauladanan Nabi tak dapat hidup rukun antar umat beragama? Bukankah terlalu ganjil jika kita melihat apa yang ada dibenak manusia apabila tak mengakui hal tersebut.

4.      KEHIDUPAN MENURUT AL-QUR’AN

Ilmu pengetahuan dan teknologi belum dapat menjamin kebahagiaan manusia selama nilai-nilainya tidak tunduk di bawah nilai-nilai spiritual. ada tiga factor yang menjadikan pengetahuan kita tentang hakikat manusia sangat terbatas. Pertama, pembahasan tentang manusia terlambat diadakan. Karena pada mulanya perhatian manusia hanya pada penyelidikan tentang alam materi.. Kedua, ciri khas akal manusia yang lebih cenderung untuk memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ini disebabkan karena sifat akal kita itu sendiri yang tidak mampu mengetahui hakikat hidup. Ketiga, multikompleksnya masalah manusia, seperti telah dikemukakan diatas. Manusia pada hakikatnya diciptakan di dunia sebagai khalifah.

5.      KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN

Dalam surat Al-Zumar ayat 42, Tuhan berfirman: Allah memegang jiwa(orang) ketika matinya dan memegang jiwa(orang) yang belum mati di waktu  tidurnya. Maka Dia tahanlah jiwa(orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya, dan Dia lepaskankembali jiwa yang lain(yang tidur), sampai waktu yang ditentukannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir (QS 39:42)



F.     ISLAM DAN KEMASYARAKATAN

1.      ISLAM DAN CITA-CITA SOSIAL

Sebelum adam dan hawa terjun ke dunia belia terlebih dahulu ke surga dan kemudian beliau menggambarkan bagaimana kehidupan di disurga yang nantinya akan terjadi di bumi. Kemudian adam dan istrinya berusaha dengan sungguh-sungguh agar dapat mewujudkan bayang-bayang disurga itu di bumi dengan petunjuk-petunjuk ilahi.

Terlihat bahwa peran sentral dari adam dalam kehidupan dunia ini adalah menciptakan ketenangan batin dan kesejahteraan lahir. Untuk mewujudkan peran sentral tersebut diperlukan peran aktif dari semua pihak. Kegiatan tersebut disesuaikan dengan kondisi dan sasaran yang dihadapi.

Cita-cita sosial tersebut dimulai dengan menumbuhkan aspek kaidah dan etika dalam diri pemeluknya. Dimulai dari pendidikan bagi pribadi masing-masing. Tiap-tiap pribadi bertanggung jawab untuk mensucikan diri dan hartanya, kemudian keluarga, setelah keluarga beralih ke kewajiban kepada masyarakat. Setiap orang dituntut untuk melaksanakan tugasnya dengan bersungguh-sungguh. Kemudian masyarakat memiliki kewajiban untuk membantu seluruh anggota masyarakat.

2.      ISLAM DAN PERUBAHAN MASYARAKAT

Menurut nabi Muhammad islam lahir bersama dengan turunnya al-quran. Masyarakat jahiliyah berpola pikir, sikap, dan tingkah laku yang terpuji dan tercela. Hal ini, membuat islam menerima dan mengembangkan yang terpuji dan menolak yang tercela.

-          Syarat pokok perubahan

Perubahan dapat terlaksana karena pemahaman nilai-nilai al-quran. Al-quran adalah kitab pertama yang dikenal oleh manusia yang berbicara mengenai hukum sejarah dalam masyarakat.

-          Peran manusia

Manusia merupakan orang yang menciptakan sejarah. Gerak sejarah merupakan gerak menuju suatu tujuan. Tujuan tersebut dinamakan dengan masa depan.  Perubahan yang terjadi pada diri manusia harus diwujudkan dalam suatu landasan yang kokoh serta berkaitan erat dengan perubahan yang terjadi pada dirinya.

-          Nilai-nilai islam

Semakin luhur dan tinggi suatu nilai semakin tinggi pula yang dicapai. Nilai tersebut terbentuk oleh pandangan kedisinian dan kekinian. Kedisinian dan kekinian menghasilkan sebuah kemandekan. Keesaan tuhan memancarkan kesatuan-kesatuan seperti kesatuan alam semesta dalam penciptaan, eksistensi dan tujuan, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat. Al-Quran dapat mengubah mereka melalui sebuh prinsip tauhid. Langkah yang digunakan untuk mengubah suatu pola pikir, sikap dan tingkah laku yaitu dengan meluruskan pemahaman nilai serta menyebarluaskan sehingga dapat dipahami oleh umat.

3.      KELUARGA TIANG NEGARA

 adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Sebuah keluarga yang diibarkat sebagai sebuah bangunan, untuk memelihara sebuah bangunan tersebut harus didirikan dari sebuah pondasi yang sangat kuat dan bahan bangunan yang kokoh. Fondasi tersebut berupa sebuah ajaran agama selain itu juga dapat berupa kesiapan dari calon orang tua. Dan kokohnya bahan tersebut dimaksudkan dengan perhatian dengan anak sejak masih dalam kandungan sampai dewasa.

4.      RIBA MENURUT AL-QUR’AN

Riba pada saat turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut dari jumlah hutang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan. Bukan hanya penambahan jumlah hutang.

5.      KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

Kedudukan perempuan dalam islam tidak seperti yang ada di masyarakat. Pada hakikatnya islam memberikan perhatian dan kedudukan yang sangat terhormat kepada perempuan. Banyak faktor yang mengaburkan keistimewaan tersebut diantaranya karena kurangnya pemahaman islam tentang al-quran.

Hak-hak perempuan yakni : hak dalam bidang politik, hak dalam memelihara pekerjaan, hak dan kewajiban belajar.

6.      KUALITAS PRIBADI MUSLIMAH

Semua manusia diciptakan dari debu tanah dan ruh . apabila daya tarik debu tanah mengalahkan daya tarik ruh, ia akan jatuh tersungkur sampai mencapai tingkat yang serendah-rendahnya bahkan lebih rendah dari binatang. Namun, apabila ruh yang memenangkannya, manusia akan menjadi seperti malaikat. Debu dari tanah dan ruh ilahi, Allah menganugerahkan manusia empat daya, yakni :

a.       Daya tubuh, yang mengantarkan manusia berkekuatan fisik. Berfungsinya organ tubuh dan panca indera berasal dari daya ini.

b.      Daya hidup, yang menjadikannya memiliki kemampuan mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan

c.       Daya akal, yang memungkinkannya memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi

d.      Daya kalbu, yang memungkinkannya bermoral, merasakan keindahan, kelezatan iman dan kehadiran Allah. Dari daya inilah lahir intuisi dan indra keenam.

Apabila keempat daya tersebut digunakan dan dikembangkan dengan baik. Maka kualitas pribadi akan mencapai puncaknya.

7.      ISLAM GIZI, DAN KESEHATAN MASYARAKAT

Para ulama menyepakati bahwa ajaran islam bertujuan memelihara 5 hal pokok :  agama, jiwa, akal,kehormatan, dan kesehatan.

Gizi berperan penting dalam membina dan mempertahankan kesehatan seseorang. Semua orang berkewajiban untuk memelihara kesehatannya. Dalam arti lain yakni gizi merupakan tangga pertama untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan.

8.      ISLAM, KEPENDUDUKAN, DAN LINGKUNGAN HIDUP

Masalah penduduk merupakan masalah yang sangat menyita perhatian publik. Masalah penduduk ini mencakup pertumbuhan penduduk, kesehatan, tingkat pendidikan yang rendah, dan berdampak pada kerusakan lingkungan.kesejahteraan didambakan oleh agama, dan dapat terwujud melalui unsur unsur : Seluruh anggota keluarga menjalankan tugasnya dengan baik, materi keluarga yang dapat tercukupi.

9.      ISLAM DAN PEMBANGUNAN

 Pembangunan islam dapat dicapai melalui : manusia dan kehidupan, ciri pokok pembangunan islam, pembangunan dan pengamalan pancasial, landasan ekonomi islam. Ke empat aspek tersebut tercapai dengan adanya kesadaran dan rasa syukur atas petunjuk Nya yan diberikan kepada kita. Serta landasan islam harus tetap berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam.



G.    ISLAM DAN TUNTUNAN IBADAH

1.      TUJUAN PUASA MENURUT AL-QUR’AN

Puasa dalam arti “mengendalikan dan menahan diri untuk tidak makan dan minum dalam waktu tertentu” dilakukam antara lain dengan tujuan memelihara kesehatan atau merampingkan tubuh.

Puasa yang dilakukan umat islam di garis bawahi oleh Al-Quran sebagai “bertujuan untuk memperoleh takwa”. Tujuan tersebut tercapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri, yang memerlukan pemahaman terhadap dua hal pokok menyangkut hakikat manusia dan kewajibannya di bumi ini. Pertama, manusia diciptakan oleh Tuhan dari tanah, kemudian dihembuskan kepadanya Roh ciptaan-Nya, dan diberikan potensi untuk mengembangkan dirinya hingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya untuk menjadi khalifah di bumi ini. Kedua, dalam perjalanan manusia menuju ke bumi, ia (Adam) melewati (“transit” di) surga, agar pengalaman yang diperolehnya disana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugan pokoknya dibumi ini.

2.      LAYLAT AL-QADR

Kata qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti :

1.      Penetapan dan pengaturan sehingga Laylat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Al-Quran yang turun pada malam Laylat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allh SWT mengatur dan menetapkan khithah dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw.

2.      Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran seta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat dirain.

3.      Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.

3.      MAKNA HALAL BIHALAL

Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata bahasa Arab, shilat dan rahim.  Kata shilat berakar dari kata washl  yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”.

Kita tidak menemukan dalam Al-Quran atau hadis suatu penjelasan tentang arti halal bihalal. Paling tidak istilah halal bihalal  dapat memberikan tiga arti yang berbeda atau, paling tidak, salah satunya dapat mempunyai arti yang lebih dalam daripada arti yang dikandung oleh dua pengertian lainnya

Halal  yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal, akan memberikan kesan bahwa dengan cara tersebut mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa. Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum, menjadikan sikap kita yang tadinya haram, atau yang tadinya berdosa, menjadi halal atai tidak berdosa lagi.

4.      HAKIKAT IDUL FITRI

Id berarti “kembali” dan fitri berarti “agama yang benar” atau “kesucian” atau “asal kejadian”. Dalam hal ini, Nabi saw bersabda, “Al-din al-mu’amalah.” Nasihat-menasihati dan tenggang rasa juga termasuk dalam ajaran agama karena Nabi saw juga bersabda “Al-din al-nashihah.” Dengan demikian, setiap yang ber-idul fithri harus sadar bahwa setiap orang dapat melakukan kesalahan, dan dari kesadarannya itu, ia bersedia untuk memberi dan menerima maaf. Fitrah berarti kesucian. Ini dapat dipahami bahkan dirasakan maknanya pada saat Anda duduk terenung seorang diri.

5.      SOAL ZAKAT DAN ‘AMIL ZAKAT

Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau terpaksa “dengan tekanan penguasa”. Zakat memiliki berbagai dampak yakni memiliki sifat dermawan, menciptakan ketenangan dan ketentraman, dan mengembangkan harta benda.

Para ulama berselisih paham menyangkut perincian syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang diangkat sebagai amil zakat. Syarat-syarat tersebut adalah : (1) Muslim (2) akil balig dan terpercaya (3) mengetahui hukum-hukum menyangkut zakat, dan (4) mampu melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.

Pada garis besarnya, para amil zakat dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar: (1) para pengumpul, dan (2) para pembagi. Para pengumpul bertugas mengamati dan menetapkan para muzakkiy, menetapkan jenis-jenis harta mereka yang wajib dizakati, dan jumkah yang harus mereka bayar. Para pembagi bertugan mengamati dan menetapkan, setelah pengamatan dan penelitian yang seksama, siapa saja yang berhak mendapatkan zakat, perkiraan kebutuhan mereka, kemudian membagikan kepada mereka masing-masing yang membutuhkan dengan mempertimbangkan jumlah zakat yang diterima dan kebutuhan mereka masing-masing.

6.      MAKNA IBADAH HAJI

Tauhid, keyakinan akan keesaan Allah SWT, merupakan penemuan manusia yang terbesar dan tidak dapat diabaikan oleh para ilmuwan atau sejarahwan. Keyakinan atas keesaan Tuhan juga mengantar manusia menyadari bahwa semua manusia berada dalam kedudukan yang sama dari segi nilai kemanusiaan. Karena, semua mereka diciptakan dan berada di bawah kekuasaan Allah SWT.

Salah satu bukti yang jelas tentang keterkaitan ibadah haji dengan nilai-nilai kemanusiaan adalah isi khutbah Nabi saw pada haji Wada’ (haji perpisahan) yang intinya menekankan: (a) persamaan, (b) keharusan memelihara jiwa, harta, dan kehormatan orang lain, (c) larangan-larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun bidang-bidang lain.

7.      MAKNA ISRA’ DAN MI’RAJ

Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra’ dan Mi’raj  merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut.

Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain

Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakan sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu

8.      HIKMAH HIJRAH

Setiap pekerja yang dilakukan seseorang pasti mempunyai motivasi atau niat. Hal ini pernah ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw., ketika seorang sahabatnya pergi berhijrah dari Makkah ke Madinah: “Setiap pekerjaan harus atau pasti disertai oleh niat. Maka, barang siapa hijrahnya didorong oleh niat karena Allah, hijrahnya akan dinilai demikian. Dan barang siapa hijrah didorong oleh keinginan mendapat keuntungan duniawi atau karena ingin mengawini seorang wanita, maka hijrahnya dinilai sesuai dengan tujuan tersebut.”

Hijrah Rasulullah saw telah berlalu empat belas abad lamanya. Namun, dari hijrah dan celah-celah peristiwanya, banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik. Berikut ini beberapa di antaranya.

1.      Pengorbanan

2.      Makna Hidup

3.      Tawakal dan Usaha



H.    ISLAM DAN PERAN ULAMA

1.      MAKNA UKHUWAH ISLAMIYAH

Ukhuwwah pada mulanya berarti “persamaan dan keserasian dalam banyak hal”. Karenanya, persamaan dalam keturunan mengakibatkan persaudaraan, persamaan dalam sifat-sifat juga mengakibatkan persaudaraan. Dalam kamus-kamus bahasa, ditemukan bahwa kata akh  juga di gunakan dalam arti teman akrab atau sahabat.

Bentuk jamak dari akh dalam Al-qur’an ada dua macam. Pertama, ikhwan yang biasanya digunakan untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kedua, adalah ikhwah keseluruhannya di gunakan untuk makna persaudaraan se keturunan.

Kalau kita mengartikan ukhuwah dalam arti “persamaan” sebagaimana arti asalnya dan penggunaannya dalam beberapa ayat dan hadis, kemudian merujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah, maka paling tidak kita dapat menemukan ukhuwah tersebut tecermin dalam empat hal berikut :

(1)   Ukhuwwah fi al-‘ubudiyyah, yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara dalam arti memiliki persamaan.

(2)   Ukhuwwah fi al-insaniyah, dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua bersumber dari ayah dan ibu yang satu.

(3)   Ukhuwwah fi al-wathaniyah wa al-nasab, persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan seperti yang disyaratkan oleh ayat wa ila ‘ad akhahum Hud, dan lain-lain.

(4)   Ukhuwwah fi din al-islam, persaudaraan antar sesama Muslim.

Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan dalam rasa dan cita merupakan faktor yang sangat dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki dan yang pada akhirnya menjadikan seorang saudara merasakan derita saudaranya.        

2.      KERAGAMAN DAN KERUKUNAN MENURUT AL-QUR’AN

Perbedaan pendapat dalam segala aspek kehidupan manusia merupakan satu fenomena yang telah lahir dan akan berkelanjutan sepanjang sejarah kemanusiaan.      Perbedaan-perbedaan itu dan semacamnya, kemudian berkembang dan menjadikan umat islam berkelompok-kelompok. Lalu muncul Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, dan sebagainya.

Sebelum dikemukakan kaitan antara keragaman dan kebebasan beragama, perlu digaris bawahi dua hal. Pertama, bahwa ayat 256 surat Al-Baqarah, yang biasa di gunakan sebagai argumentasi tentang kebebasan beragama, hanya berkaitan dengan kebebasan memilih agama islam atau selainnya. Seseorang yang dengan sukarela serta penuh kesadaran telah memilih satu agama, maka yang bersangkutan telah berkewajiban untuk melaksanakan ajaran agama tersebut secara sempurna. Kedua, satu dari lima tujuan pokok ajaran agama adalah pemeliharaan.terhadap agama itu sendiri, yang antara lain menuntut peningkatan pemahaman umat terhadap ajaran agamanya serta membentengi mereka dari setiap usaha pencemaran atau pengeruhan kamurniannya.

Manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih dan menetapkan jalan hidupnya, serta agama yang dianutnya. Tetapi kebebasan ini bukan berarti kebebasan memilih ajaran-ajaran agama pilihannya itu, mana yang dianut dan mana yang ditolak. Karena, “Tuhan tidak menurunkan suatu agama untuk dibahas oleh manusia dalam rangka memilih yang dianggapnya sesuai dan menolak yang tidak sesuai”.

3.      SELAMAT NATAL MENURUT AL-QUR’AN

Dari kisah Natal dari Al-Qur’an Surah Maryam ayat 34. Dengan demikian, Al-Qur’an mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa a.s. Isa a.s. datang membawa kasih, “Kasihilah seterumu dan doakan yang menyayangimu.” Muhammad saw. Datang membawa rahmat, “Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu.” Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.

Isa menunjuk dirinya sebagai “anak manusia”, sedangkan Muhammad saw. Diperintahkan oleh Allah untuk berkata; “Aku manusia seperti kamu.” Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jairus yang sakit telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, “Dia tidak mati, tetapi tidur.” Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: “Matahari mengalami gerhana karena kematiannya.” Muhammad saw. Lalu menegur, “Matahari tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang.” Keduanya datang membebaskan manusia baik yang kecil, lemah dan tertindas dhu’afa dan al-mustadh’afin dalam istilah Al-Qur’an.

Dengan demikian tidak ada salahnya mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat di pelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an sendiri yang telah mengabadikan selamat natal itu. Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri ucapan Natal yang bukan ritual. Hal ini dikarenakan Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.

4.      ULAMA KAUM MUDA DAN PEMERINTAH

“Para ulama adalah pewaris para nabi”, dapat di pahami bahwa para ulama – melalui pemahaman, pemaparan dan pengamalan kitab suci – bertugas memberikan petunjuk dan bimbingan guna mengatasi perselisihan-perselisihan pendapat, problem-problem sosial yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, peran yang di tuntut dari para ulama adalah musabaqahb bi al-khayrat (berlomba dalam berbuat kebajikan).

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara ulama di satu pihak, dan pemuka-pemuka masyarakat, pemuda, dan pemerintah di lain pihak. Masyarakat, menurut kodratnya, selalu berubah. Perubahan itu di tandai dengan kemajuan umat manusia di segala bidang.

Pemerintah, yang sadar akan fungsi agama dan pengaruhnya yang besar dalam menggalakkan pembangunan, mengharapkan ulama menjadi rekan utama pemerintah dalam segala waktu dan persoalan. Khususnya dalam ajaran islam.

Dari sini dapat disimpulkan beberapa langkah yang harus segera dirinti. Pertama, temu muka dan keterbukaan antara ulama dan pemerintah yang hendaknya di dahului oleh prasangka baik dari kedua belah pihak. Kedua, pertemuan-pertemuan antar ulama, baik yang terhimpun dalam majelis ulama maupun diluarnya, untuk pembicaraan bersama-sama pandangan tentang masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul. Ketiga, peremajaan ulama, dalam arti membebankan kepada kaum muda bagian dari tugas-tugas yang dipukul ulama.

5.      ULAMA SEBAGAI PEWARIS NABI

Ada emapat tugas utama yang harus dijalankan ulama sesuai dengan tugas kenabian dalam mengembangkan kitab suci :

Pertama, menyampaikan (tabligh) ajaran-ajarannya, sesuai dengan perintah

Kedua, menjelaskan ajaran-ajarannya berdasarkan ayat

Ketiga, memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat berdasarkan ayat

Keempat, memberikan contoh pengamalan, sesuai dengan hadis Aisyah, yang diriwayatkan oleh bukhari





BAB III

PENUTUP



a.       Kesimpulan

Banyak sekali hal-hal yang harus ditelaah dalam mempelajari Al-Qur’an dan bagaimana kita dalam menafsir arti dari isi Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an juga terdapat pembaharuan yang harus kita sadari bahwa hal tersebut merupakan suatu wujud petunjuk bagi kaum muslim agar kita tetap pada jalan Nya.

Agama Islam datang dan memperkenalkan Al-Qur’an pada kehidupan diri sendiri dan masyarakat, agar dapat meluruskan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh para ulama. Didalam Al-Qur’an juga membahas tentang adanya kehidupan dan kematian, agar kita selalu bersyukur kepada Nya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di muka bumi ini.

Islam menerima dan mengembangkan yang terpuji dan menolak yang tercela. Karena pada masa sekarang, sudah dipengaruhi oleh pola tingkah laku manusia. Sehingga perlu adanya nilai – nilai keislaman yang harus kita jadikan pedoman.

b.      Saran

dalam memahami suatu materi, pelajarilah materi dasarnya terlebih dahulu. Karena itu sangatlah membantu dalam mempelajari materi yang lebih tinggi.

Dan makalah ini merupakan sebagian dasar kunci kecil untuk mengaplikasianya kedalam kehidupan, karena sebagai mana dijelaskan kitab adalah pedoman hidup manusia dan buku adalah kunci kehidupan manusia.



DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish 1994. MEMBUMIKAN AL-QUR’AN: Bandung, Perpustakaan Nasional.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar